Selasa, 08 Januari 2013

Biografi Ringkas Imam Nawawi Al-Bantani


             Nama asli beliau adalah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Arabi. Beliau lahir di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten, Indonesia. Beliau terlahir dari keturunan Sultan Hasanuddin putra dari Sunan Gunung Jati, Cirebon. Yakni keturunan ke-11 dari Sultan Banten. Dan nasab beliau sampai kepada Baginda nabi Muhammad SAW. Ayahnya bernama Umar bin ‘Arabi, salah seorang Ulama Banten yang cukup terkenal, dan ibunya bernama Zubaedah.
Semenjak kecil belaiu sudah memiliki potensi kecerdasan yang luar biasa. Dari mulai umur 5 tahun beliau dididik oleh ayahnya. Acapkali pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya sering membuat ayahnya bingung. Sehingga umur 8 tahun sang ayah mengirimkannya ke berbagai pesantren yang ada di jawa. Karena Nawawi kecil mempunyai bakat yang terpendam yang harus digali. Diantara para guru yang pernah ditemuinya adalah Kyai Sahal, Banten, dan Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usianya yang belum mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi sudah begitu banyak mengajar orang. Kian hari bertambah banyak, hingga beliau mencari tempat di pinggir pantai, agar bisa leluasa mengajar murid-muridnya. Kemudian pada usia 15 tahun, beliau menunaikan ibadah haji, sembari berguru memanfaatkan waktunya untuk menuntu ilmu kapada sejumlah Ulama besar yang ada di Mekkah. Seperti Syaikh Khatib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbalaweni, Abdul Hamid Daghestani,Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syaikh Junaid al-Betawi. Akan tetapi yang paling berpengaruh dan membentuk serta mengubah jalan pikiran Syaikh Nawawi adalah Syaikh Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid al-Betawi, Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Zaini Dahlan.
Tiga tahun beliau habiskan waktunya di Mekkah. Sampai di tanah Jawa, beliau melihat kondisi yang carut marut di tanah kelahirannya itu. Ketidakadilan, penindasan dan lain sebagainya yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Di dalam jiwanya tertanam rasa untuk mengubah kondisi masyarakat di kampungnya. Akan tetapi itu semua terhenti sesaat ketika para penjajah tau tentang sosok pemuda yang satu ini. Hingga pada akhirnya langkahnya selalu dibuntuti oleh pemerintah belanda. Beliau dilarang untuk berkhotbah, bahkan dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro. Yang memeng kala itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap para penjajah (1825-1830 M).
Untuk meredam emosi dan tak mau memperparah keadaaan, akhirnya Syaikh Nawawi memutuskan untuk kembali ke Mekkah dan melanjutkan memperdalam ilmu agamanya sampai 30 tahun lamanya. Sejak tahun 1830-1860 M. Karena beliau mempunyai niat ingin bermukim di sana, dan tujuan lainnya untuk menghindari tekanan dari kaum penjajah.
Namanya mulai tersohor ketika menetap di Syi’ib Ali, Mekkah. Di sana beliau mengajar tepat di halaman rumahnya. Nama beliau semakin melejit, ketika beliau ditunjuk untuk menggantikan Syaikh Khatib al-Minangkabawi sebagai Imam di Masjidil Haram. Sejak itulah beliau dikenal sebagai Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi, yang artinya Syaikh Nawawi, dari Banten, Jawa. Tak hanya masyhur/terkenal di Mekkah saja, di semenanjung jazirah Arab pun  mulai mengenal sosok nama  beliau.
Merasa tidak mampu untuk memberikan perlawanan langsung terhadap pemerintah Belanda, Syaikh Nawawi membentuk sebuah perkampungan Jawa di Mekkah. Di sana beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Tentu saja berita ini terdengar oleh kolonial belanda, dan mengutus Snouck Hourgonje ke Mekkah untuk menemui beliau. Ketika Snouck Hourgonje menyampaikan sejumlah pertanyaan-pertanyaan kepada beliau, yang kala itu ia menyamar sebagai orang Arab yang bernama Abdul Ghofur.

Tidak ada komentar: