Nama asli beliau adalah Abu Abdul Mu’thi Muhammad
Nawawi bin Umar bin ‘Arabi. Beliau lahir di Kampung Tanara, Kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten, Indonesia. Beliau terlahir dari
keturunan Sultan Hasanuddin putra dari Sunan Gunung Jati, Cirebon. Yakni
keturunan ke-11 dari Sultan Banten. Dan nasab beliau sampai kepada Baginda nabi
Muhammad SAW. Ayahnya bernama Umar bin ‘Arabi, salah seorang Ulama Banten yang
cukup terkenal, dan ibunya bernama Zubaedah.
Semenjak kecil belaiu sudah memiliki potensi
kecerdasan yang luar biasa. Dari mulai umur 5 tahun beliau dididik oleh
ayahnya. Acapkali pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya sering membuat
ayahnya bingung. Sehingga umur 8 tahun sang ayah mengirimkannya ke berbagai
pesantren yang ada di jawa. Karena Nawawi kecil mempunyai bakat yang terpendam
yang harus digali. Diantara para guru yang pernah ditemuinya adalah Kyai Sahal,
Banten, dan Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usianya yang belum mencapai 15 tahun, Syaikh
Nawawi sudah begitu banyak mengajar orang. Kian hari bertambah banyak, hingga
beliau mencari tempat di pinggir pantai, agar bisa leluasa mengajar
murid-muridnya. Kemudian pada usia 15 tahun, beliau menunaikan ibadah haji,
sembari berguru memanfaatkan waktunya untuk menuntu ilmu kapada sejumlah Ulama
besar yang ada di Mekkah. Seperti Syaikh Khatib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima,
Yusuf Sumbalaweni, Abdul Hamid Daghestani,Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Muhammad
Khatib Hambali, Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syaikh
Junaid al-Betawi. Akan tetapi yang paling berpengaruh dan membentuk serta
mengubah jalan pikiran Syaikh Nawawi adalah Syaikh Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad
Nahrawi, Syaikh Junaid al-Betawi, Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Zaini
Dahlan.
Tiga tahun beliau habiskan waktunya di Mekkah.
Sampai di tanah Jawa, beliau melihat kondisi yang carut marut di tanah
kelahirannya itu. Ketidakadilan, penindasan dan lain sebagainya yang dilakukan
oleh pemerintah Hindia-Belanda. Di dalam jiwanya tertanam rasa untuk mengubah
kondisi masyarakat di kampungnya. Akan tetapi itu semua terhenti sesaat ketika
para penjajah tau tentang sosok pemuda yang satu ini. Hingga pada akhirnya
langkahnya selalu dibuntuti oleh pemerintah belanda. Beliau dilarang untuk
berkhotbah, bahkan dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro. Yang memeng
kala itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap para penjajah (1825-1830 M).
Untuk meredam emosi dan tak mau memperparah
keadaaan, akhirnya Syaikh Nawawi memutuskan untuk kembali ke Mekkah dan
melanjutkan memperdalam ilmu agamanya sampai 30 tahun lamanya. Sejak tahun
1830-1860 M. Karena beliau mempunyai niat ingin bermukim di sana, dan tujuan
lainnya untuk menghindari tekanan dari kaum penjajah.
Namanya mulai tersohor ketika menetap di Syi’ib
Ali, Mekkah. Di sana beliau mengajar tepat di halaman rumahnya. Nama beliau
semakin melejit, ketika beliau ditunjuk untuk menggantikan Syaikh Khatib
al-Minangkabawi sebagai Imam di Masjidil Haram. Sejak itulah beliau dikenal
sebagai Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi, yang artinya Syaikh Nawawi, dari
Banten, Jawa. Tak hanya masyhur/terkenal di Mekkah saja, di semenanjung jazirah
Arab pun mulai mengenal sosok nama beliau.
Merasa tidak mampu untuk memberikan perlawanan
langsung terhadap pemerintah Belanda, Syaikh Nawawi membentuk sebuah
perkampungan Jawa di Mekkah. Di sana beliau menyampaikan perlawanannya lewat
pemikiran-pemikirannya. Tentu saja berita ini terdengar oleh kolonial belanda,
dan mengutus Snouck Hourgonje ke Mekkah untuk menemui beliau. Ketika Snouck
Hourgonje menyampaikan sejumlah pertanyaan-pertanyaan kepada beliau, yang kala
itu ia menyamar sebagai orang Arab yang bernama Abdul Ghofur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar