Jumat, 21 Desember 2012

Hukum Walimah Dalam Pernikahan


     Walimah diartikan sebagai makanan yang dihidangkan pada acara pernikahan[1]. Namun secara bahasa, walimah diartikan dengan pesta, kenduri, atau resepsi. Dengan demikian Walimatun nikah adalah pesta yang diselenggarakan setelah dilaksanakannya aqad nikah dengan menghidangkan berbagai jamuan yang biasanya disesuaikan menurut adat setempat. Adapun hukum melaksanakannya adalah sunnah.[2]

 Menurut Imam Syafi’i makanan yang dihidangkan dalam acara walimah setidaknya adalah satu ekor kambing.[3] Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasul saw sebagai berikut:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ أَوْلِمْ وَلَوْ بِالشَّاةِ (متفق عليه)

Artinya:
“Rasulullah saw bersabda kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf: Adakanlah walimah, sekalipun hanya memotong seekor kambing”. (H.R.Bukhari Muslim).[4]

Bahkan nabi saw sendiri pernah menyelenggarakan walimah untuk Shafiyah dengan hais yaitu berupa adonan tepung, lemak, dan susu kering dan ditaruh di atas permadani kecil.[5]
Akan tetapi, walimah boleh saja diadakan seadanya, yang penting dengan sesuatu yang bisa dimakan.[6]

Tidak boleh berlebih-lebihan dalam walimatul’ursy, karena hal itu bisa menimbulkan rasa kesombongan, bermegah-megahan, menghambur-hamburkan harta dan campur baur antara wanita dan pria yang menyepelekan pembatas antara keduanya dan rasa malu yang dikhawatirkan akan menimbulkan akibat yang sangat buruk.[7]

Hukum menghadiri undangan pada suatu pesta pernikahan adalah fardu kifayah. Sebagian ulama lagi mengatakan fardu ‘ain. Artinya wajib bagi setiap induvidu yang mendapat undangan untuk menghadirinya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن ابن عمر رضي  الله عنهما عن النبي صلى الله  عليه وسلم اِذَادَعَا اَحَدُكُمْ اَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ اَوْنَحْوَهُ (رواه مسلم وابو داود)

Artinya:
“Dari Ibnu Umar r.a dari Nabi SAWbersabda: “Apabila seseorang mengundang saudaranya, hendaklah saudaranya itu memperkenankannya, baik undangan itu untuk mempelai atau yang lainnya. (H.R. Imam Muslim dan Abu Daud).[8]

Di dalam redaksi kitab fiqih yang lainnya mengatakan bahwa mendatangi undangan pada acara resepsi pernikahan itu hukumnya wajib, sedang pada selainnya hukumnya sunnah. Dan menurut Qoul asokh hukum memakan jamuan walimah itu hukumnya juga sunnah.[9]

Apabila ada seseorang yang melaksanakan pesta pernikahan selama tiga hari berturut-turut, maka yang diwajibkan untuk menghadirinya hanya pada hari yang pertama saja, sedang pada hari yang kedua hukumnya sunnah dan hari yang ketiga hukumnya makruh.[10]

اَلْوَلِيْمَةُ اَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ وَالثَّانِيْ مَعْرُوْفٌ وَالثَّالِثُ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ (رواه ابو داود وغيره)

Artinya:
“Walimah pada kali pertama adalah haq, yang kedua adalah kebaikan, dan yang ketiga adalah riya dan kesombongan”. (H.R Abu Daud dan Imam lainnya).[11]

Pernikahan itu hendaknya diberitahukan dan jangan disembunyikan. Secepat mungkin diramaikan atau digembirakan dengan cara apa saja. Sebagaimana yang telah disabdakan dalam haditsnya sebagai berikut:

عن عا ئشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قال أَعْلِنُوْا هذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوْاهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوْاعَلَيْهِ بِالدُّفُوْفْ (رواه أحمد والترمذي)

Artinya:
 “Dari Aisyah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Beri tahukanlah pernikahan dan jadikanlah pernikahanmu di mesjid serta bunyikanlah rebana dalam pernikahan itu”. (H.R. Ahmad dan Turmudzi).[12]


[1]  Muhammad bin Qosim, Fathal Qorib, (Libanon: Darul Kutub Alamiah, 2008), hal.326
[2] Suprapta dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: Karya Toha Putra, 2004), hal.103
[3] Ibid, Fathal Qorib, hal.326
[4] Ibid, Fiqih, hal.103
[5] Asmuni, Terjemah Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005) hal.862
[6]Anshori Umar, Terjemah Fiqhu Al- Mar’ah Al-Muslimah, (Semarang: As-Syifa’, 1986) hal.382
[7] Asmuni, Terjemah Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005), hal.862
[8] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal.309
[9] Muhammad bin Qosim, Fathal Qorib, (Libanon: Darul Kutub Alamiah, 2008), hal.326-327
[10] Ibid, hal.327
[11] Asmuni, Terjemah Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005) hal.864
[12] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal.306

1 komentar:

andi mengatakan...

jazzakallah khair