Kota Mekkah telah menunjukkan
eksistensi dan peranannya bagi seluruh bangsa Arab. Selama berabad-abad para
peziarah dari berbagai daerah datang memenuhi tiap sudut jalanan kota.
Mengunjungi bangunan tua peninggalan dari nenek moyang mereka nabi Ibrahim
yaitu Ka’bah. Ia merupakan simbol ketauhidan Tuhan, menyatukan umat yang ada di
alam jagat raya ini bersimpuh jadi satu di dalam bangunan tua itu. Ajaran Tauhid yang dibawa oleh nabi Ibrahim
telah menjadi gaya hidup mereka bahkan menjelma
sebagai adat istiadat bagi bangsa Arab.[1]
Namun sayangnya, hal itu tidak terlalu lama.
Mereka mulai lupa dan meninggalkan sedikit demi sedikit apa yang sudah
diajarkan oleh nenek moyang mereka. Mereka mulai mencampur adukkan ajaran Nabi
Ibrahim dengan kepercayaan paganisme. Allah yang mereka kenal menjadi sesuatu
yang amat jauh. Mereka masih mempercayai adanya Allah, namun menjadikan
perantara berhala agar bisa sampai kepada-Nya. Karena penduduk Mekkah kini
telah banyak menyembah dan memohon kepada berhala-berhala yang ada di sekitar
Ka’bah.[2]
Sebagai seorang pemimpin yang dituakan, Abdul
Muthallib mempunyai tugas yang cukup berat,disamping memikirkan kesesatan
rakyatnya yang mulai menyimpang dari ajaran nabi Ibrahim, Ia juga harus
menyediakan jamuan bagi para peziarah yang datang ke Mekkah. Terutama
menyediakan air minum bagi siapa saja yang berkunjung ke baitullah. Hal itu
merupakan salah satu ritual bagi bangsa Arab yang dinamakan dengan siqayah.
Hingga pada akhirnya Abdul Muthallib merasa kebingungan mencari sumber air agar
tetap bisa menghidupi
para peziarah yang
datang. Karena kadang-kadang sumur yang mereka ambil airnya itu sesaat
mengering di musim-musim tertentu.[3]
Ada salah satu sumur yang sudah setengah
dilupakan oleh mereka, karena dulu suku Jurhum telah menimbunnya dan tak
meninggalkan bekas sedikitpun. Sayangnya suku Khuza’ah yang telah mengalahkan
suku Jurhum tak tertarik sedikitpun untuk berusaha mencari dan menggali lagi di
mana sumur tersebut berada. Selama beberapa hari Abdul Muthallib berpikir dan
mencari jalan keluar. Tempat yang biasa dijadikan oleh beliau sesekali untuk
menghilangkan rasa penatnya adalah Hijr Isma’il. Suatu kita beliau menyandarkan
tubuhnya, hingga pada akhirnya tertidur dan dikejutkan oleh sebuah mimpi.[4]
Di dalam mimpi itu, beliau dikejutkan dengan
hadirnya sosok lelaki yang memakai pakaian serba putih. Lalu laki-laki itu
memerintahkan Abdul Muthallib untuk menggali at-Thaibah (salah satu nama
ka’bah). Mimpi berlanjut sampai tiga kali. Hingga pada hari yang ketiga beliau
memahami apa maksud dari mimpi yang selama ini beliau alami. Dalam mimpinya
laki-laki itu berkata “Galilah zamzam kembali, ia merupakan sumber air yang
akan mencukupi bagi jama’ah haji yang datang. Ia berada di tempat yang kumuh,
banyak kotoran dan darah di dalamnya. Dan di sana pula ada seekor burung gagak
yang sedang mematuk serta dijadikan sebagai sarang semut”. [5]
Abdul Muthallib sangat mengharapkan sekali apa
yang sudah didapat dari mimpinya itu, agar beliau tidak merasa kesulitan lagi
mencari sumber airuntuk para peziarah yang datang ke Mekkah. Dengan penuh
perhatian dan penantian, beliau memasuki Masjidil Haram. Serta merta
pandangannya tertuju ke tempat berdirinya berhala Ishaf dan Na’ilah. Karena di
sana ditemukan ada seekor burung gagak yang sedang mematuki kotoran unta yang
bercampur darah kering, serta melihat banyak segerombolan semut yang keluar
masuk dari sebuah lobang yang diduga sebagai sarangnya. Hingga pada akhirnya
beliau yakin dan memutuskan bahwa di situlah tempat yang selama ini beliau
cari, terdapat sumur zamzam yang sudah lama menghilang tak ditemukan bekasnya
sedikitpun.[6]
Tanpa menunggu waktu yang lama, Abdul
Muthallib langsung bergegas melakukan penggalian, dengan dibantu putra
sulungnya al-Haris. Penuh semangat namun sangat beresiko bagi mereka. Karena
bagaimanapun juga, tempat tersebut merupakan tempat penyembelihan hewan kurban
yang nantinya akan dipersembahkan untuk berhala-berhala yang berdiri seperti
orang yang berpenyakit. Tak bisa dibayangkan bagaiamana nanti jika kaum Quraisy
melihat ulah mereka berdua. Tempat yang selama ini mereka sucikan, ternyata
sedang diusik oleh seorang pimpinan dan ketua suku mereka sendiri. Akan tetapi
semua itu telah diperhitungkan dengan matang. Al-Haris diperintrahkan untuk
berjaga-jaga dan melindungi pekerjaannya, sementara Abdul Muthallib yang
melakukan penggalian.[7]
Tak lama setelah penggalian itu dilakukan,
ternyata orang-orang yang berada di sekitar masjidil Haram tau tentang apa yang
sedang dilakukan oleh mereka berdua. Suara galian itu mengundang banyak
perhatian orang yang ada di luar sana. Satu persatu dari mereka mulai mencari
dari mana sumber suara itu berada. Dan betapa terkejutnya mereka, setelah
melihat salah seorang pemimpin yang sangat dihormatinya tengah merusak dan
mengusik tempat pengorbanan bagi para berhala
yang selama ini mereka agung-agungkan. Hingga pada akhirnya semua
penduduk mekkah pun mengecam atas tindakan Abdul Muthallib dan meminta agar
pekerjaan itu dihentikan.[8]
Kegigihan yang beliau miliki, tak membuat
takut atas anacaman yang dilontarkan oleh kaumnya. Dengan sangat percaya diri,
Abdul Muthallib menjelaskan bahwa semua itu dilakukannya hanya untuk mencari
sumur zamzam. Tak ada niat untukvmelecehkan atau tidak menghormati terhadap
tempat suci mereka. Namun tetap saja alasannya tidak bisa diterimanya.
Perdebatan pun terjadi diantara segerombolan penduduk mekkah melawan bapak dan
anak yang tak berdaya tanpa ada yang mau mengerti dan menerima alasan dan
tujuan yang beliau kerjakan itu. Dalam hatinya bergumam, seandainya mempunyai
lebih dari satu anak, tentu anak-anaknya akan membela dan selalu siap untuk
berada dibelakangnya demi mendukung sang ayah.[9]
Untuk menenangkan suasana yang semakin ricuh,
Abdul Muthallib mengucapkan janji kepada penduduk mekkah, yaitu apabila ia
mempunyai anak laki-laki lebih dari sepuluh, maka ia akan mengorbankan salah
satu anaknya. Janji itu semata untuk membuktikan kepada mereka bahwa di tempat
ini akan ada sumber mata air yang sudah lama menghilang ditelan waktu, tanpa
ada yang tau jejaknya sedikitpun. Disamping itu, hasilnya juga akan dinikmati
bersama oleh penduduk Mekkah, demi menjamu para peziarah yang datang setiap
tahunnya.[10]
Mendengar janji yang diucapkan oleh Abdul
Muthallib, semua orang tercengang seakan tak percaya atas apa yang sudah
diucapkan olehnya. Nadzar yang beliau ucapkan tak ada bedanya dengan cerita
leluhur mereka nabi Ibrahim a.s ketika hendak mengorbankan putra kesayangannya
Ismail. Tanpa memberikan jawaban terhadap Abdul Muthallib, mereka akhirnya membiarkan
bapak dan anak yang begitu gigih mencari sesuatu yang meninggalkan seribu
pertanyaan kepada penduduk Mekkah untuk meneruskan penggalian mistis itu.[11]
Di tengah-tengah penggalian yang disaksikan
oleh beribu-ribu pasang mata yang tertuju kepada mereka berdua, Abdul Muthallib
tanpa disengaja menemukan sebuah bongkahan misterius yang keluar dari lubang
galiannya. Apa yang sudah didapatkannya itu merupakan harta karun yang
tertimbun milik kabilah jurhum pada waktu dulu. Semua yang hadir di tempat itu,
merasa mempunyai hak atas harta karun tersebut. Mereka menjelma menjadi budak
yang patuh terhadap tuannya, seraya ingin mendapatkan bagian dari harta itu.[12]
Kericuhan pun mulai terjadi. Hingga pada
akhirnya Abdul Muthallib mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan kerancuan
kaumnya itu. Harta karun yang sudah ditemukannya itu akan diundi. Dengan kebijaksanaannya
sebagai seorang pemimpin, ia mengambil enam buah bejana. Dua bejana warna hitam untuk Abdul
Mutrhallib, dua bejana putih untuk orang Quraisy, dan dua bejana lagi warna
kuning untuk ka’bah. Semua sepakat dan
akhirnya pun diundi. Setelah diundi, ternayata dua bejana hitam mengarah pada
alat perang. Dan dua bejana bejana merah mengarah pada dua patung emas. Sedangkan
dua bejana putih tidak mendapatkan bagian. Karena, sesuai dengan kesepakatan
awal, bejana yang keluar terakhir tidak mendapatkan bagian.[13]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar