Jumat, 21 Desember 2012

Pencarian Sumber Mata Air


Kota Mekkah telah menunjukkan eksistensi dan peranannya bagi seluruh bangsa Arab. Selama berabad-abad para peziarah dari berbagai daerah datang memenuhi tiap sudut jalanan kota. Mengunjungi bangunan tua peninggalan dari nenek moyang mereka nabi Ibrahim yaitu Ka’bah. Ia merupakan simbol ketauhidan Tuhan, menyatukan umat yang ada di alam jagat raya ini bersimpuh jadi satu di dalam bangunan tua itu.  Ajaran Tauhid yang dibawa oleh nabi Ibrahim telah menjadi gaya hidup mereka bahkan menjelma  sebagai adat istiadat bagi bangsa Arab.[1]

Namun sayangnya, hal itu tidak terlalu lama. Mereka mulai lupa dan meninggalkan sedikit demi sedikit apa yang sudah diajarkan oleh nenek moyang mereka. Mereka mulai mencampur adukkan ajaran Nabi Ibrahim dengan kepercayaan paganisme. Allah yang mereka kenal menjadi sesuatu yang amat jauh. Mereka masih mempercayai adanya Allah, namun menjadikan perantara berhala agar bisa sampai kepada-Nya. Karena penduduk Mekkah kini telah banyak menyembah dan memohon kepada berhala-berhala yang ada di sekitar Ka’bah.[2]

Sebagai seorang pemimpin yang dituakan, Abdul Muthallib mempunyai tugas yang cukup berat,disamping memikirkan kesesatan rakyatnya yang mulai menyimpang dari ajaran nabi Ibrahim, Ia juga harus menyediakan jamuan bagi para peziarah yang datang ke Mekkah. Terutama menyediakan air minum bagi siapa saja yang berkunjung ke baitullah. Hal itu merupakan salah satu ritual bagi bangsa Arab yang dinamakan dengan siqayah. Hingga pada akhirnya Abdul Muthallib merasa kebingungan mencari sumber air agar tetap bisa menghidupi para peziarah yang datang. Karena kadang-kadang sumur yang mereka ambil airnya itu sesaat mengering di musim-musim tertentu.[3]

Ada salah satu sumur yang sudah setengah dilupakan oleh mereka, karena dulu suku Jurhum telah menimbunnya dan tak meninggalkan bekas sedikitpun. Sayangnya suku Khuza’ah yang telah mengalahkan suku Jurhum tak tertarik sedikitpun untuk berusaha mencari dan menggali lagi di mana sumur tersebut berada. Selama beberapa hari Abdul Muthallib berpikir dan mencari jalan keluar. Tempat yang biasa dijadikan oleh beliau sesekali untuk menghilangkan rasa penatnya adalah Hijr Isma’il. Suatu kita beliau menyandarkan tubuhnya, hingga pada akhirnya tertidur dan dikejutkan oleh sebuah mimpi.[4]

Di dalam mimpi itu, beliau dikejutkan dengan hadirnya sosok lelaki yang memakai pakaian serba putih. Lalu laki-laki itu memerintahkan Abdul Muthallib untuk menggali at-Thaibah (salah satu nama ka’bah). Mimpi berlanjut sampai tiga kali. Hingga pada hari yang ketiga beliau memahami apa maksud dari mimpi yang selama ini beliau alami. Dalam mimpinya laki-laki itu berkata “Galilah zamzam kembali, ia merupakan sumber air yang akan mencukupi bagi jama’ah haji yang datang. Ia berada di tempat yang kumuh, banyak kotoran dan darah di dalamnya. Dan di sana pula ada seekor burung gagak yang sedang mematuk serta dijadikan sebagai sarang semut”. [5]

Abdul Muthallib sangat mengharapkan sekali apa yang sudah didapat dari mimpinya itu, agar beliau tidak merasa kesulitan lagi mencari sumber airuntuk para peziarah yang datang ke Mekkah. Dengan penuh perhatian dan penantian, beliau memasuki Masjidil Haram. Serta merta pandangannya tertuju ke tempat berdirinya berhala Ishaf dan Na’ilah. Karena di sana ditemukan ada seekor burung gagak yang sedang mematuki kotoran unta yang bercampur darah kering, serta melihat banyak segerombolan semut yang keluar masuk dari sebuah lobang yang diduga sebagai sarangnya. Hingga pada akhirnya beliau yakin dan memutuskan bahwa di situlah tempat yang selama ini beliau cari, terdapat sumur zamzam yang sudah lama menghilang tak ditemukan bekasnya sedikitpun.[6]

Tanpa menunggu waktu yang lama, Abdul Muthallib langsung bergegas melakukan penggalian, dengan dibantu putra sulungnya al-Haris. Penuh semangat namun sangat beresiko bagi mereka. Karena bagaimanapun juga, tempat tersebut merupakan tempat penyembelihan hewan kurban yang nantinya akan dipersembahkan untuk berhala-berhala yang berdiri seperti orang yang berpenyakit. Tak bisa dibayangkan bagaiamana nanti jika kaum Quraisy melihat ulah mereka berdua. Tempat yang selama ini mereka sucikan, ternyata sedang diusik oleh seorang pimpinan dan ketua suku mereka sendiri. Akan tetapi semua itu telah diperhitungkan dengan matang. Al-Haris diperintrahkan untuk berjaga-jaga dan melindungi pekerjaannya, sementara Abdul Muthallib yang melakukan penggalian.[7]

Tak lama setelah penggalian itu dilakukan, ternyata orang-orang yang berada di sekitar masjidil Haram tau tentang apa yang sedang dilakukan oleh mereka berdua. Suara galian itu mengundang banyak perhatian orang yang ada di luar sana. Satu persatu dari mereka mulai mencari dari mana sumber suara itu berada. Dan betapa terkejutnya mereka, setelah melihat salah seorang pemimpin yang sangat dihormatinya tengah merusak dan mengusik tempat pengorbanan bagi para berhala  yang selama ini mereka agung-agungkan. Hingga pada akhirnya semua penduduk mekkah pun mengecam atas tindakan Abdul Muthallib dan meminta agar pekerjaan itu dihentikan.[8]

Kegigihan yang beliau miliki, tak membuat takut atas anacaman yang dilontarkan oleh kaumnya. Dengan sangat percaya diri, Abdul Muthallib menjelaskan bahwa semua itu dilakukannya hanya untuk mencari sumur zamzam. Tak ada niat untukvmelecehkan atau tidak menghormati terhadap tempat suci mereka. Namun tetap saja alasannya tidak bisa diterimanya. Perdebatan pun terjadi diantara segerombolan penduduk mekkah melawan bapak dan anak yang tak berdaya tanpa ada yang mau mengerti dan menerima alasan dan tujuan yang beliau kerjakan itu. Dalam hatinya bergumam, seandainya mempunyai lebih dari satu anak, tentu anak-anaknya akan membela dan selalu siap untuk berada dibelakangnya demi mendukung sang ayah.[9]

Untuk menenangkan suasana yang semakin ricuh, Abdul Muthallib mengucapkan janji kepada penduduk mekkah, yaitu apabila ia mempunyai anak laki-laki lebih dari sepuluh, maka ia akan mengorbankan salah satu anaknya. Janji itu semata untuk membuktikan kepada mereka bahwa di tempat ini akan ada sumber mata air yang sudah lama menghilang ditelan waktu, tanpa ada yang tau jejaknya sedikitpun. Disamping itu, hasilnya juga akan dinikmati bersama oleh penduduk Mekkah, demi menjamu para peziarah yang datang setiap tahunnya.[10]

Mendengar janji yang diucapkan oleh Abdul Muthallib, semua orang tercengang seakan tak percaya atas apa yang sudah diucapkan olehnya. Nadzar yang beliau ucapkan tak ada bedanya dengan cerita leluhur mereka nabi Ibrahim a.s ketika hendak mengorbankan putra kesayangannya Ismail. Tanpa memberikan jawaban terhadap Abdul Muthallib, mereka akhirnya membiarkan bapak dan anak yang begitu gigih mencari sesuatu yang meninggalkan seribu pertanyaan kepada penduduk Mekkah untuk meneruskan penggalian mistis itu.[11]

Di tengah-tengah penggalian yang disaksikan oleh beribu-ribu pasang mata yang tertuju kepada mereka berdua, Abdul Muthallib tanpa disengaja menemukan sebuah bongkahan misterius yang keluar dari lubang galiannya. Apa yang sudah didapatkannya itu merupakan harta karun yang tertimbun milik kabilah jurhum pada waktu dulu. Semua yang hadir di tempat itu, merasa mempunyai hak atas harta karun tersebut. Mereka menjelma menjadi budak yang patuh terhadap tuannya, seraya ingin mendapatkan bagian dari harta itu.[12]

Kericuhan pun mulai terjadi. Hingga pada akhirnya Abdul Muthallib mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan kerancuan kaumnya itu. Harta karun yang sudah ditemukannya itu akan diundi. Dengan kebijaksanaannya sebagai seorang pemimpin, ia mengambil enam buah bejana.  Dua bejana warna hitam untuk Abdul Mutrhallib, dua bejana putih untuk orang Quraisy, dan dua bejana lagi warna kuning  untuk ka’bah. Semua sepakat dan akhirnya pun diundi. Setelah diundi, ternayata dua bejana hitam mengarah pada alat perang. Dan dua bejana bejana merah mengarah pada dua patung emas. Sedangkan dua bejana putih tidak mendapatkan bagian. Karena, sesuai dengan kesepakatan awal, bejana yang keluar terakhir tidak mendapatkan bagian.[13]


[1] Team Atsar FKI, Lentera kegelapan, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), hal. 3
[2] Ibid
[3] Team Atsar FKI, Op.Cit, hal.3-4
[4] Ibid, 4-5
[5] Ibid, 5
[6] Team Atsar FKI, Op.Cit, hal. 5
[7] Ibid, 5-6
[8] Team Atsar FKI, Op.Cit, hal. 6
[9] Ibid
[10] Ibid, hal.7
[11] Team Atsar FKI, Op.Cit, hal. 7
[12] Ibid, 7-8
[13] Ibid, 8

Tidak ada komentar: