Jumat, 21 Desember 2012

Hukum Walimah Dalam Pernikahan


     Walimah diartikan sebagai makanan yang dihidangkan pada acara pernikahan[1]. Namun secara bahasa, walimah diartikan dengan pesta, kenduri, atau resepsi. Dengan demikian Walimatun nikah adalah pesta yang diselenggarakan setelah dilaksanakannya aqad nikah dengan menghidangkan berbagai jamuan yang biasanya disesuaikan menurut adat setempat. Adapun hukum melaksanakannya adalah sunnah.[2]

 Menurut Imam Syafi’i makanan yang dihidangkan dalam acara walimah setidaknya adalah satu ekor kambing.[3] Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasul saw sebagai berikut:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ أَوْلِمْ وَلَوْ بِالشَّاةِ (متفق عليه)

Artinya:
“Rasulullah saw bersabda kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf: Adakanlah walimah, sekalipun hanya memotong seekor kambing”. (H.R.Bukhari Muslim).[4]

Bahkan nabi saw sendiri pernah menyelenggarakan walimah untuk Shafiyah dengan hais yaitu berupa adonan tepung, lemak, dan susu kering dan ditaruh di atas permadani kecil.[5]
Akan tetapi, walimah boleh saja diadakan seadanya, yang penting dengan sesuatu yang bisa dimakan.[6]

Tidak boleh berlebih-lebihan dalam walimatul’ursy, karena hal itu bisa menimbulkan rasa kesombongan, bermegah-megahan, menghambur-hamburkan harta dan campur baur antara wanita dan pria yang menyepelekan pembatas antara keduanya dan rasa malu yang dikhawatirkan akan menimbulkan akibat yang sangat buruk.[7]

Hukum menghadiri undangan pada suatu pesta pernikahan adalah fardu kifayah. Sebagian ulama lagi mengatakan fardu ‘ain. Artinya wajib bagi setiap induvidu yang mendapat undangan untuk menghadirinya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن ابن عمر رضي  الله عنهما عن النبي صلى الله  عليه وسلم اِذَادَعَا اَحَدُكُمْ اَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ اَوْنَحْوَهُ (رواه مسلم وابو داود)

Artinya:
“Dari Ibnu Umar r.a dari Nabi SAWbersabda: “Apabila seseorang mengundang saudaranya, hendaklah saudaranya itu memperkenankannya, baik undangan itu untuk mempelai atau yang lainnya. (H.R. Imam Muslim dan Abu Daud).[8]

Di dalam redaksi kitab fiqih yang lainnya mengatakan bahwa mendatangi undangan pada acara resepsi pernikahan itu hukumnya wajib, sedang pada selainnya hukumnya sunnah. Dan menurut Qoul asokh hukum memakan jamuan walimah itu hukumnya juga sunnah.[9]

Apabila ada seseorang yang melaksanakan pesta pernikahan selama tiga hari berturut-turut, maka yang diwajibkan untuk menghadirinya hanya pada hari yang pertama saja, sedang pada hari yang kedua hukumnya sunnah dan hari yang ketiga hukumnya makruh.[10]

اَلْوَلِيْمَةُ اَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ وَالثَّانِيْ مَعْرُوْفٌ وَالثَّالِثُ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ (رواه ابو داود وغيره)

Artinya:
“Walimah pada kali pertama adalah haq, yang kedua adalah kebaikan, dan yang ketiga adalah riya dan kesombongan”. (H.R Abu Daud dan Imam lainnya).[11]

Pernikahan itu hendaknya diberitahukan dan jangan disembunyikan. Secepat mungkin diramaikan atau digembirakan dengan cara apa saja. Sebagaimana yang telah disabdakan dalam haditsnya sebagai berikut:

عن عا ئشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قال أَعْلِنُوْا هذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوْاهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوْاعَلَيْهِ بِالدُّفُوْفْ (رواه أحمد والترمذي)

Artinya:
 “Dari Aisyah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Beri tahukanlah pernikahan dan jadikanlah pernikahanmu di mesjid serta bunyikanlah rebana dalam pernikahan itu”. (H.R. Ahmad dan Turmudzi).[12]


[1]  Muhammad bin Qosim, Fathal Qorib, (Libanon: Darul Kutub Alamiah, 2008), hal.326
[2] Suprapta dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: Karya Toha Putra, 2004), hal.103
[3] Ibid, Fathal Qorib, hal.326
[4] Ibid, Fiqih, hal.103
[5] Asmuni, Terjemah Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005) hal.862
[6]Anshori Umar, Terjemah Fiqhu Al- Mar’ah Al-Muslimah, (Semarang: As-Syifa’, 1986) hal.382
[7] Asmuni, Terjemah Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005), hal.862
[8] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal.309
[9] Muhammad bin Qosim, Fathal Qorib, (Libanon: Darul Kutub Alamiah, 2008), hal.326-327
[10] Ibid, hal.327
[11] Asmuni, Terjemah Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005) hal.864
[12] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal.306

Pencarian Sumber Mata Air


Kota Mekkah telah menunjukkan eksistensi dan peranannya bagi seluruh bangsa Arab. Selama berabad-abad para peziarah dari berbagai daerah datang memenuhi tiap sudut jalanan kota. Mengunjungi bangunan tua peninggalan dari nenek moyang mereka nabi Ibrahim yaitu Ka’bah. Ia merupakan simbol ketauhidan Tuhan, menyatukan umat yang ada di alam jagat raya ini bersimpuh jadi satu di dalam bangunan tua itu.  Ajaran Tauhid yang dibawa oleh nabi Ibrahim telah menjadi gaya hidup mereka bahkan menjelma  sebagai adat istiadat bagi bangsa Arab.[1]

Namun sayangnya, hal itu tidak terlalu lama. Mereka mulai lupa dan meninggalkan sedikit demi sedikit apa yang sudah diajarkan oleh nenek moyang mereka. Mereka mulai mencampur adukkan ajaran Nabi Ibrahim dengan kepercayaan paganisme. Allah yang mereka kenal menjadi sesuatu yang amat jauh. Mereka masih mempercayai adanya Allah, namun menjadikan perantara berhala agar bisa sampai kepada-Nya. Karena penduduk Mekkah kini telah banyak menyembah dan memohon kepada berhala-berhala yang ada di sekitar Ka’bah.[2]

Sebagai seorang pemimpin yang dituakan, Abdul Muthallib mempunyai tugas yang cukup berat,disamping memikirkan kesesatan rakyatnya yang mulai menyimpang dari ajaran nabi Ibrahim, Ia juga harus menyediakan jamuan bagi para peziarah yang datang ke Mekkah. Terutama menyediakan air minum bagi siapa saja yang berkunjung ke baitullah. Hal itu merupakan salah satu ritual bagi bangsa Arab yang dinamakan dengan siqayah. Hingga pada akhirnya Abdul Muthallib merasa kebingungan mencari sumber air agar tetap bisa menghidupi para peziarah yang datang. Karena kadang-kadang sumur yang mereka ambil airnya itu sesaat mengering di musim-musim tertentu.[3]

Ada salah satu sumur yang sudah setengah dilupakan oleh mereka, karena dulu suku Jurhum telah menimbunnya dan tak meninggalkan bekas sedikitpun. Sayangnya suku Khuza’ah yang telah mengalahkan suku Jurhum tak tertarik sedikitpun untuk berusaha mencari dan menggali lagi di mana sumur tersebut berada. Selama beberapa hari Abdul Muthallib berpikir dan mencari jalan keluar. Tempat yang biasa dijadikan oleh beliau sesekali untuk menghilangkan rasa penatnya adalah Hijr Isma’il. Suatu kita beliau menyandarkan tubuhnya, hingga pada akhirnya tertidur dan dikejutkan oleh sebuah mimpi.[4]

Di dalam mimpi itu, beliau dikejutkan dengan hadirnya sosok lelaki yang memakai pakaian serba putih. Lalu laki-laki itu memerintahkan Abdul Muthallib untuk menggali at-Thaibah (salah satu nama ka’bah). Mimpi berlanjut sampai tiga kali. Hingga pada hari yang ketiga beliau memahami apa maksud dari mimpi yang selama ini beliau alami. Dalam mimpinya laki-laki itu berkata “Galilah zamzam kembali, ia merupakan sumber air yang akan mencukupi bagi jama’ah haji yang datang. Ia berada di tempat yang kumuh, banyak kotoran dan darah di dalamnya. Dan di sana pula ada seekor burung gagak yang sedang mematuk serta dijadikan sebagai sarang semut”. [5]

Abdul Muthallib sangat mengharapkan sekali apa yang sudah didapat dari mimpinya itu, agar beliau tidak merasa kesulitan lagi mencari sumber airuntuk para peziarah yang datang ke Mekkah. Dengan penuh perhatian dan penantian, beliau memasuki Masjidil Haram. Serta merta pandangannya tertuju ke tempat berdirinya berhala Ishaf dan Na’ilah. Karena di sana ditemukan ada seekor burung gagak yang sedang mematuki kotoran unta yang bercampur darah kering, serta melihat banyak segerombolan semut yang keluar masuk dari sebuah lobang yang diduga sebagai sarangnya. Hingga pada akhirnya beliau yakin dan memutuskan bahwa di situlah tempat yang selama ini beliau cari, terdapat sumur zamzam yang sudah lama menghilang tak ditemukan bekasnya sedikitpun.[6]

Tanpa menunggu waktu yang lama, Abdul Muthallib langsung bergegas melakukan penggalian, dengan dibantu putra sulungnya al-Haris. Penuh semangat namun sangat beresiko bagi mereka. Karena bagaimanapun juga, tempat tersebut merupakan tempat penyembelihan hewan kurban yang nantinya akan dipersembahkan untuk berhala-berhala yang berdiri seperti orang yang berpenyakit. Tak bisa dibayangkan bagaiamana nanti jika kaum Quraisy melihat ulah mereka berdua. Tempat yang selama ini mereka sucikan, ternyata sedang diusik oleh seorang pimpinan dan ketua suku mereka sendiri. Akan tetapi semua itu telah diperhitungkan dengan matang. Al-Haris diperintrahkan untuk berjaga-jaga dan melindungi pekerjaannya, sementara Abdul Muthallib yang melakukan penggalian.[7]

Tak lama setelah penggalian itu dilakukan, ternyata orang-orang yang berada di sekitar masjidil Haram tau tentang apa yang sedang dilakukan oleh mereka berdua. Suara galian itu mengundang banyak perhatian orang yang ada di luar sana. Satu persatu dari mereka mulai mencari dari mana sumber suara itu berada. Dan betapa terkejutnya mereka, setelah melihat salah seorang pemimpin yang sangat dihormatinya tengah merusak dan mengusik tempat pengorbanan bagi para berhala  yang selama ini mereka agung-agungkan. Hingga pada akhirnya semua penduduk mekkah pun mengecam atas tindakan Abdul Muthallib dan meminta agar pekerjaan itu dihentikan.[8]

Kegigihan yang beliau miliki, tak membuat takut atas anacaman yang dilontarkan oleh kaumnya. Dengan sangat percaya diri, Abdul Muthallib menjelaskan bahwa semua itu dilakukannya hanya untuk mencari sumur zamzam. Tak ada niat untukvmelecehkan atau tidak menghormati terhadap tempat suci mereka. Namun tetap saja alasannya tidak bisa diterimanya. Perdebatan pun terjadi diantara segerombolan penduduk mekkah melawan bapak dan anak yang tak berdaya tanpa ada yang mau mengerti dan menerima alasan dan tujuan yang beliau kerjakan itu. Dalam hatinya bergumam, seandainya mempunyai lebih dari satu anak, tentu anak-anaknya akan membela dan selalu siap untuk berada dibelakangnya demi mendukung sang ayah.[9]

Untuk menenangkan suasana yang semakin ricuh, Abdul Muthallib mengucapkan janji kepada penduduk mekkah, yaitu apabila ia mempunyai anak laki-laki lebih dari sepuluh, maka ia akan mengorbankan salah satu anaknya. Janji itu semata untuk membuktikan kepada mereka bahwa di tempat ini akan ada sumber mata air yang sudah lama menghilang ditelan waktu, tanpa ada yang tau jejaknya sedikitpun. Disamping itu, hasilnya juga akan dinikmati bersama oleh penduduk Mekkah, demi menjamu para peziarah yang datang setiap tahunnya.[10]

Mendengar janji yang diucapkan oleh Abdul Muthallib, semua orang tercengang seakan tak percaya atas apa yang sudah diucapkan olehnya. Nadzar yang beliau ucapkan tak ada bedanya dengan cerita leluhur mereka nabi Ibrahim a.s ketika hendak mengorbankan putra kesayangannya Ismail. Tanpa memberikan jawaban terhadap Abdul Muthallib, mereka akhirnya membiarkan bapak dan anak yang begitu gigih mencari sesuatu yang meninggalkan seribu pertanyaan kepada penduduk Mekkah untuk meneruskan penggalian mistis itu.[11]

Di tengah-tengah penggalian yang disaksikan oleh beribu-ribu pasang mata yang tertuju kepada mereka berdua, Abdul Muthallib tanpa disengaja menemukan sebuah bongkahan misterius yang keluar dari lubang galiannya. Apa yang sudah didapatkannya itu merupakan harta karun yang tertimbun milik kabilah jurhum pada waktu dulu. Semua yang hadir di tempat itu, merasa mempunyai hak atas harta karun tersebut. Mereka menjelma menjadi budak yang patuh terhadap tuannya, seraya ingin mendapatkan bagian dari harta itu.[12]

Kericuhan pun mulai terjadi. Hingga pada akhirnya Abdul Muthallib mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan kerancuan kaumnya itu. Harta karun yang sudah ditemukannya itu akan diundi. Dengan kebijaksanaannya sebagai seorang pemimpin, ia mengambil enam buah bejana.  Dua bejana warna hitam untuk Abdul Mutrhallib, dua bejana putih untuk orang Quraisy, dan dua bejana lagi warna kuning  untuk ka’bah. Semua sepakat dan akhirnya pun diundi. Setelah diundi, ternayata dua bejana hitam mengarah pada alat perang. Dan dua bejana bejana merah mengarah pada dua patung emas. Sedangkan dua bejana putih tidak mendapatkan bagian. Karena, sesuai dengan kesepakatan awal, bejana yang keluar terakhir tidak mendapatkan bagian.[13]


[1] Team Atsar FKI, Lentera kegelapan, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), hal. 3
[2] Ibid
[3] Team Atsar FKI, Op.Cit, hal.3-4
[4] Ibid, 4-5
[5] Ibid, 5
[6] Team Atsar FKI, Op.Cit, hal. 5
[7] Ibid, 5-6
[8] Team Atsar FKI, Op.Cit, hal. 6
[9] Ibid
[10] Ibid, hal.7
[11] Team Atsar FKI, Op.Cit, hal. 7
[12] Ibid, 7-8
[13] Ibid, 8

TRANSFORMASI TRADISI INTELEKTUAL

Menurut Abdullah Idi dan Toto Suharto, Intelektualisme diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan kemampuan daya nalar untuk memahami atau melakukan suatu tindakan. Atau bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan secara umum.[1] Islam sendiri sangat mendukung dan memerintahkan adanya proses Intelektualisme dalam diri seorang muslim. Hal ini dapat kita lihat pada permulaan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Di sana dijelaskan ada tiga unsur yang berkaitan dengan proses intelektualisme, yaitu: membaca, mengajar dan pena (kita artikan dengan menulis).[2]

Sepanjang perjalanan sejarah Islam, Intelektualisme berhasil memunculkan berbagai kajian khazanah keilmuan, yang kemudian diaplikasikan kedalam lembaga-lembaga pendidikan dan membentuk etos keilmuan di kalangan ummat Islam. Karena pada masa pra modern, tidak ada masyarakat yang memiliki etos keilmuan yang tinggi sebagaimana masyarakat muslim. Hal itu berlanjut hingga menjadikan Baghdad, Cordova ataupun Kairo sebagai pusat peradaban dan kejayaan kebudayaan Islam di dunia, sejak abad permulaan lahirnya Islam hingga abad ke-4 H/10 M. Dan menjadikan kawasan Islam meluas dari Afrika Utara sampai ke Spanyol (dari arah barat), dan dari Persia sampai ke India (dari arah timur). Mereka tunduk kepada kekuasaan khilafah Islam. Segala ilmu pengetahuan, entah itu bersifat keagamaan maupun lainnya berkembang dan mengalami puncak kejayaannya. Hingga mampu mengantarkan kaum Muslim menuju masa keemasan Islam (The golden age of Islam).[3]

Yang harus kita kaji dan diambil manfaatnya adalah bagaimanakah proses terjadinya perubahan tersebut, hingga mereka dari golongan kaum Muslim mampu berada dan menandingi negara-negara lainnya? Bagaimana mereka bisa mampu menguasai dunia baik dari segi keilmuannya ataupun dipandang dari sisi budayanya? Di sini kami akan mencoba mengupas dan membuka kembali kenangan lama yang indah, yang dulu pernah kita raih dalam proses transformasi terkait dengan kejayaan Islam pada masa itu. Mulai dari periode Klasik hingga pertengahan, dengan berkiblat kepada lembaga-lembaga pendidikannya. Dengan menggunakan metode sosio-historis, kajian ini hanya terbatas pada pendidikan Islam pra madrasah dan pasca madrasah.[4]

A.    INTELEKTUALISME ISLAM PRA MADRASAH
Menurut Munir Mursi bahwa periode sejarah pendidikan Islam dibagi menjadi empat periode, yaitu:
1.      Periode pembinaan
Dimulainya periode ini yaitu pada saat lahirnya Islam dengan turunnya wahyu yang pertama yang diterima oleh nabi, sampai akhir masa kekuasaan Bani Umayyah (610-750 M).
2.      Periode keemasan
Awal periode keemasan pendidikan Islam menurut Munir Mursi ditandai dengan lahirnya Bani Abbasiyah, sampai tunduknya kota Baghdad ke tentara Mongol (750-1258 M).
3.      Periode kemunduran.
Periode ini dimulai ketika Imperium Turki Usmani, sampai merdekanya negara-negara Islam (1258-1800 M)
4.      Periode kebangkitan.
Dimulai dari merdekanya negara-negar Islam dari Imperium Turki Usmani, hingga sekarang (1800 M-seterusnya).[5]

Dari msing-masing periode di atas mempunyai ciri dan gaya yang berbeda. Akan tetapi terdapat satu ciri yang dominan, yaitu kemunculan madrasah pada periode keemasan. Menurut Prof. Azyumardi Azra, munculnya madrasah pada periode keemasan merupakan faktor historis yang menjadikan kemapanan sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu para peneliti sejarah pendidikan Islam, ketika meneliti lembaga-lembaga pendidikan Islam yang pernah ada, mereka menggunakan dua batasan periode, yaitu periode pra madrasah dan pasca madrasah.[6] Pada periode pra madrasah terjadi proses awal mula lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, namun hanya ditandai dengan munculnya beberapa lembaga lembaga secara informal. Pada masa Rasulullah sendiri, pendidikan Islam hanya sebatas menjadikan rumah-rumah para sahabatnya sebagai tempat  belajar dan tempat pertemuan dengan para sahabat-sahabatnya. Salah satu diantaranya Rasulullah pernah menjadikan rumah Arqam bin Abi Arqam sebagai tempat belajar bagi para sahabatnya untuk memperdalam tentang pengetahuannya di dalam Islam.[7]


[1] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal.3
Lihat juga bukunya Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer. Intelektualisme diartikan sebagai faham pengenalan melalui kecerdasan.
[2] Lihat Q.S. Al-‘alaq: 1-5
[3] Ibid, Revitalisasi Pendidikan Islam, hal.4
[4] Abdullah Idi dan Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal.5
[5] Ibid. Lihat juga bukunya Muhammad Munir Mursi, Ushuluha wa Tatawwuruha fi al-Bilad al-‘Arbaiyyah (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1977), hal.67
[6]Ibid, hal.5-6
[7]Abdullah Idi dan Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal.6


MADRASAH NIDZOMIYYAH

A.    Sejarah dan Perkembangannya
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang sangat panjang untuk kita kaji bersama. Sejak awal mula lahirnya Islam, selalu mengalami reformasi yang sangat mempengaruhi laju perkembangannya di dunia pendidikan. Islam pertama kali lahir di daerah padang rumput yang gersang, dan berada di sekeliling umat manusia yang krisis akan moral, akidah serta ketauhidannya kepada Allah dzat yang selama ini mereka percayai keberadaannya, namun sudah sangat jauh untuk diyakini. Mereka mencampur adukkan ajaran nenek moyangnya Ibrahim dengan ajaran paganisme. Oleh karena itu, kehadiran Islam menjadi pencerahan dan jalan keluar bagi masyarakat Arab dan peradabannya di seluruh dunia.[1]

Masa yang paling awal dalam sistem pendidikan di dunia Islam, ditandai dengan lahirnya seorang nabi yang merombak semua tatanan hidup masyarakat bangsa Arab. Mereka belajar dengan sistem yang sangat sederhana, melalui metode halaqah, ataupun ceramah keagamaan dan metode tanya jawab tentang seputar keagamaan. Pada perkembangan selanjutnya masyarakat muslim mulai membentuk lembaga pendidikan Islam formal, yang kemudian menjadi pilar dari peradaban Islam. Mereka membentuk madrasah sebagai jalur komunikasi pedagogis antara pendidik dan peserta didiknya. Salah satu diantara madrasah-madrasah yang pernah ada dan menjadi sejarah peradaban Islam yaitu madrasah Nidzomiyyah yang didirikan di Baghdad pada masa pemerintahan Bani Saljuk oleh seorang perdana menteri Ghawam al-Din Abu Ali Hasan Ibnu Ishaq Khauja, yang lebih akrab dikenal dengan sebutan Nizam Al-Mulk (1018-1092).[2]

Ia adalah seorang ilmuwan muslim yang pernah melahirkan suatu karya yang produktif yang ia beri nama dengan Siyasat Nama dan diakui oleh Mehdi Nakosteen karena dinilai sebagai karya klasik di dunia pendidikan Islam. Nama Nidzomiyyah sendiri merupakan suatu penisbatan kepada nama dirinya. Ketenaran madrasah Nidzomiyyah menelusup di seluruh wilayah Islam. Bukan hanya di Baghdad, madrasah ini juga dapat ditemui di Balkh, Naisabur, Herat (Iran), Basrah, Isfahan, Merv, Mosul (Irak) dan sebagainya. Karena memang ia merupakan ilmuwan yang sangat gemar pergi ke suatu daerah dan mendirikan madrasah-madrasah baru di daerah tersebut dengan mengangkat orang yang berpengetahuan luas dan cukup dikenal sebagai pengajarnya.[3]

Namun dari sekian banyak madrasah yang didirikannya, madrasah yang ada di Baghdad merupakan madrasah yang paling terkenal dan terbesar sepanjang sejarah. Madrasah itu dibangun antara tahun 457 H (1065 M) – 459 H (1067 M) dan terletak di pinggir sungai Dajlah (Tigris), serta ditengah-tengah pasar Selasa Baghdad. Diantara para pengajarnya adalah Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H/1083 M), Abu Nasr al-Sabbagh (w. 477 H/1084 M), Abu al-Qasim al-‘Alawi (w. 482 H/1089 M), Abu Abdillah al-Tabari (w. 495 H/1101M), Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), al-Qazwaini (w. 575 H/1179 M) dan al-Fairuzzabadi (w. 817 H/1414 M). Madrasah Nizamiyyah adalah madrasah fiqih, dan bukan madrasah filsafat. Hal ini untuk mengingatkan saja, karena pada zaman itu merupakan zaman penindasan filasafat dan para filosofnya.[4]


B.     Tujuan Didirikannya Madrasah Nizamiyyah
Tujuan yang paling central didirikannya madrasah Nizamiyyah adalah untuk mengajarkan fiqih bermadzhab Syafi’i dan teologi aliran Asy’ariyyah. Menurut Azyumardi Azra, bahwa madrasah tersebut mempunyai komitmen kuat untuk berpegang teguh kepada doktrin Asy’ariyah di dalam masalah teologi keislaman hukum fiqih yang mengikuti madzhab Syafi’iyah.[5] Karena madrasah tersebut mempunyai latar belakang madrasah sunni.[6]

Hasan Asari menyebutkan bahwa pembangunan madrasah Nizamiyyah didasari oleh empat motif, yaitu
1.      Pendidikan, Nizam al-Mulk adalah seorang ilmuwan yang sangat perhatian pada dunia pendidikan, jadi sangatlah pantas dan wajar jika ia membangun madrasah sebagai sarana pendidikan bagi umat muslim.
2.      Konflik antar kelompok keagamaan. Sebelum Nizam al-Mulk menjabat sebagai perdana menteri, dahulu dipegang oleh al-Kunduri. Ia beraliran Mu’tazilah. Dan mempunyai rencana akan mengusir dan menganiyaya para penganut Asy’ariyah. Lalu ketika Nizam al-Mulk menggantikan posisinya, sebagai wujud perlawanan terhadap penindasan yang akan di lakukan oleh al-Kunduri[7], beliau mendirikan madrasah Nizamiyyah. Yang mengajarkan doktrin-doktrin tentang teologi Asy’ariyyah.

3.      Pendidikan bagi pegawai pemerintahan. Sebagai seorang wazir yang bertanggung jawab. Ia bermaksud untuk menghadirkan para pegawai pemerintahanya sebagai lulusan yang memiliki kesamaan visi guna mendukung pemerintahannya.
4.      Politik. Dengan madrasah yang didirikannya ini, ia berusaha membuat hubungan baik dengan para ulama dan masyarkat setempat, agar pemerintahannya tetap stabil.[8]


[1] Team Atsar FKI, Lentera kegelapan, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), hal. 3
[2] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogtakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 21-22
[3] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Op.Cit, hal. 22
[4] Ibid, 23
[5] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998), hal. 62
[6] Ibid, Revitalisasi Pendidikan Islam, hal. 24
[7] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Op.Cit, hal. 24. Al-Kunduri adalah seorang perdana menteri pada saat Tughril (w. 455/1063) berkuasa atas Bani Saljuq. Ia dikirim sebagai tawanan ke Merv, ibukota Khurasan oleh Alp Arsalan. Tetapi ia meninggal di sana ketika ia sedang berada dipenjara, dibunuh oleh dua pelayan Alp Arsalan. Baca juga Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hal. 250
[8] Ibid, 24-25