Walimah diartikan sebagai makanan yang dihidangkan pada acara pernikahan[1]. Namun secara bahasa, walimah diartikan dengan pesta, kenduri, atau resepsi. Dengan demikian Walimatun nikah adalah pesta yang diselenggarakan setelah dilaksanakannya aqad nikah dengan menghidangkan berbagai jamuan yang biasanya disesuaikan menurut adat setempat. Adapun hukum melaksanakannya adalah sunnah.[2]
Menurut Imam Syafi’i makanan yang dihidangkan
dalam acara walimah setidaknya adalah satu ekor kambing.[3] Pendapat
tersebut sesuai dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasul saw sebagai
berikut:
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ أَوْلِمْ
وَلَوْ بِالشَّاةِ (متفق عليه)
Artinya:
“Rasulullah saw bersabda kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf: Adakanlah
walimah, sekalipun hanya memotong seekor kambing”. (H.R.Bukhari Muslim).[4]
Bahkan nabi saw sendiri pernah
menyelenggarakan walimah untuk Shafiyah dengan hais yaitu berupa adonan tepung,
lemak, dan susu kering dan ditaruh di atas permadani kecil.[5]
Akan
tetapi, walimah boleh saja diadakan seadanya, yang penting dengan sesuatu yang
bisa dimakan.[6]
Tidak boleh berlebih-lebihan dalam walimatul’ursy, karena hal itu
bisa menimbulkan rasa kesombongan, bermegah-megahan, menghambur-hamburkan harta
dan campur baur antara wanita dan pria yang menyepelekan pembatas antara
keduanya dan rasa malu yang dikhawatirkan akan menimbulkan akibat yang sangat
buruk.[7]
Hukum menghadiri undangan pada suatu pesta pernikahan adalah fardu
kifayah. Sebagian ulama lagi mengatakan fardu ‘ain. Artinya wajib bagi setiap
induvidu yang mendapat undangan untuk menghadirinya. Dalam sebuah hadits
disebutkan:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن
النبي صلى الله عليه وسلم اِذَادَعَا
اَحَدُكُمْ اَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ اَوْنَحْوَهُ (رواه مسلم وابو داود)
Artinya:
“Dari Ibnu Umar
r.a dari Nabi SAWbersabda: “Apabila seseorang mengundang saudaranya, hendaklah
saudaranya itu memperkenankannya, baik undangan itu untuk mempelai atau yang
lainnya. (H.R. Imam Muslim dan Abu Daud).[8]
Di dalam redaksi kitab fiqih yang lainnya mengatakan bahwa
mendatangi undangan pada acara resepsi pernikahan itu hukumnya wajib, sedang pada
selainnya hukumnya sunnah. Dan menurut Qoul asokh hukum memakan jamuan walimah
itu hukumnya juga sunnah.[9]
Apabila ada seseorang yang melaksanakan pesta pernikahan selama
tiga hari berturut-turut, maka yang diwajibkan untuk menghadirinya hanya pada
hari yang pertama saja, sedang pada hari yang kedua hukumnya sunnah dan hari
yang ketiga hukumnya makruh.[10]
اَلْوَلِيْمَةُ اَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ وَالثَّانِيْ مَعْرُوْفٌ وَالثَّالِثُ
رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ (رواه ابو داود وغيره)
Artinya:
“Walimah pada kali pertama adalah haq, yang kedua adalah kebaikan,
dan yang ketiga adalah riya dan kesombongan”. (H.R
Abu Daud dan Imam lainnya).[11]
Pernikahan itu hendaknya diberitahukan dan jangan disembunyikan.
Secepat mungkin diramaikan atau digembirakan dengan cara apa saja. Sebagaimana
yang telah disabdakan dalam haditsnya sebagai berikut:
عن عا ئشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قال أَعْلِنُوْا
هذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوْاهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوْاعَلَيْهِ
بِالدُّفُوْفْ (رواه أحمد والترمذي)
Artinya:
“Dari Aisyah r.a dari Nabi SAW, beliau
bersabda, “Beri tahukanlah pernikahan dan jadikanlah pernikahanmu di mesjid
serta bunyikanlah rebana dalam pernikahan itu”. (H.R. Ahmad dan Turmudzi).[12]
[2] Suprapta dan
Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: Karya Toha Putra, 2004), hal.103
[3] Ibid, Fathal
Qorib, hal.326
[4] Ibid, Fiqih,
hal.103
[5] Asmuni, Terjemah
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005) hal.862
[6]Anshori Umar, Terjemah
Fiqhu Al- Mar’ah Al-Muslimah, (Semarang: As-Syifa’, 1986) hal.382
[7] Asmuni, Terjemah
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005), hal.862
[8] Ibnu Mas’ud dan
Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia,
2007), hal.309
[9] Muhammad bin
Qosim, Fathal Qorib, (Libanon: Darul Kutub Alamiah, 2008), hal.326-327
[10] Ibid, hal.327
[11] Asmuni, Terjemah
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005) hal.864
[12] Ibnu Mas’ud dan
Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia,
2007), hal.306