Jumat, 21 Desember 2012


TRANSFORMASI TRADISI INTELEKTUAL

Menurut Abdullah Idi dan Toto Suharto, Intelektualisme diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan kemampuan daya nalar untuk memahami atau melakukan suatu tindakan. Atau bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan secara umum.[1] Islam sendiri sangat mendukung dan memerintahkan adanya proses Intelektualisme dalam diri seorang muslim. Hal ini dapat kita lihat pada permulaan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Di sana dijelaskan ada tiga unsur yang berkaitan dengan proses intelektualisme, yaitu: membaca, mengajar dan pena (kita artikan dengan menulis).[2]

Sepanjang perjalanan sejarah Islam, Intelektualisme berhasil memunculkan berbagai kajian khazanah keilmuan, yang kemudian diaplikasikan kedalam lembaga-lembaga pendidikan dan membentuk etos keilmuan di kalangan ummat Islam. Karena pada masa pra modern, tidak ada masyarakat yang memiliki etos keilmuan yang tinggi sebagaimana masyarakat muslim. Hal itu berlanjut hingga menjadikan Baghdad, Cordova ataupun Kairo sebagai pusat peradaban dan kejayaan kebudayaan Islam di dunia, sejak abad permulaan lahirnya Islam hingga abad ke-4 H/10 M. Dan menjadikan kawasan Islam meluas dari Afrika Utara sampai ke Spanyol (dari arah barat), dan dari Persia sampai ke India (dari arah timur). Mereka tunduk kepada kekuasaan khilafah Islam. Segala ilmu pengetahuan, entah itu bersifat keagamaan maupun lainnya berkembang dan mengalami puncak kejayaannya. Hingga mampu mengantarkan kaum Muslim menuju masa keemasan Islam (The golden age of Islam).[3]

Yang harus kita kaji dan diambil manfaatnya adalah bagaimanakah proses terjadinya perubahan tersebut, hingga mereka dari golongan kaum Muslim mampu berada dan menandingi negara-negara lainnya? Bagaimana mereka bisa mampu menguasai dunia baik dari segi keilmuannya ataupun dipandang dari sisi budayanya? Di sini kami akan mencoba mengupas dan membuka kembali kenangan lama yang indah, yang dulu pernah kita raih dalam proses transformasi terkait dengan kejayaan Islam pada masa itu. Mulai dari periode Klasik hingga pertengahan, dengan berkiblat kepada lembaga-lembaga pendidikannya. Dengan menggunakan metode sosio-historis, kajian ini hanya terbatas pada pendidikan Islam pra madrasah dan pasca madrasah.[4]

A.    INTELEKTUALISME ISLAM PRA MADRASAH
Menurut Munir Mursi bahwa periode sejarah pendidikan Islam dibagi menjadi empat periode, yaitu:
1.      Periode pembinaan
Dimulainya periode ini yaitu pada saat lahirnya Islam dengan turunnya wahyu yang pertama yang diterima oleh nabi, sampai akhir masa kekuasaan Bani Umayyah (610-750 M).
2.      Periode keemasan
Awal periode keemasan pendidikan Islam menurut Munir Mursi ditandai dengan lahirnya Bani Abbasiyah, sampai tunduknya kota Baghdad ke tentara Mongol (750-1258 M).
3.      Periode kemunduran.
Periode ini dimulai ketika Imperium Turki Usmani, sampai merdekanya negara-negara Islam (1258-1800 M)
4.      Periode kebangkitan.
Dimulai dari merdekanya negara-negar Islam dari Imperium Turki Usmani, hingga sekarang (1800 M-seterusnya).[5]

Dari msing-masing periode di atas mempunyai ciri dan gaya yang berbeda. Akan tetapi terdapat satu ciri yang dominan, yaitu kemunculan madrasah pada periode keemasan. Menurut Prof. Azyumardi Azra, munculnya madrasah pada periode keemasan merupakan faktor historis yang menjadikan kemapanan sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu para peneliti sejarah pendidikan Islam, ketika meneliti lembaga-lembaga pendidikan Islam yang pernah ada, mereka menggunakan dua batasan periode, yaitu periode pra madrasah dan pasca madrasah.[6] Pada periode pra madrasah terjadi proses awal mula lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, namun hanya ditandai dengan munculnya beberapa lembaga lembaga secara informal. Pada masa Rasulullah sendiri, pendidikan Islam hanya sebatas menjadikan rumah-rumah para sahabatnya sebagai tempat  belajar dan tempat pertemuan dengan para sahabat-sahabatnya. Salah satu diantaranya Rasulullah pernah menjadikan rumah Arqam bin Abi Arqam sebagai tempat belajar bagi para sahabatnya untuk memperdalam tentang pengetahuannya di dalam Islam.[7]


[1] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal.3
Lihat juga bukunya Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer. Intelektualisme diartikan sebagai faham pengenalan melalui kecerdasan.
[2] Lihat Q.S. Al-‘alaq: 1-5
[3] Ibid, Revitalisasi Pendidikan Islam, hal.4
[4] Abdullah Idi dan Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal.5
[5] Ibid. Lihat juga bukunya Muhammad Munir Mursi, Ushuluha wa Tatawwuruha fi al-Bilad al-‘Arbaiyyah (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1977), hal.67
[6]Ibid, hal.5-6
[7]Abdullah Idi dan Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal.6

Tidak ada komentar: