TRANSFORMASI
TRADISI INTELEKTUAL
Menurut Abdullah Idi dan Toto Suharto, Intelektualisme diartikan sebagai
hal yang berkaitan dengan kemampuan daya nalar untuk memahami atau melakukan
suatu tindakan. Atau bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
pendidikan secara umum.[1]
Islam sendiri sangat mendukung dan memerintahkan adanya proses Intelektualisme
dalam diri seorang muslim. Hal ini dapat kita lihat pada permulaan wahyu yang
diturunkan kepada Rasulullah saw. Di sana dijelaskan ada tiga unsur yang
berkaitan dengan proses intelektualisme, yaitu: membaca, mengajar dan pena
(kita artikan dengan menulis).[2]
Sepanjang perjalanan sejarah Islam, Intelektualisme berhasil memunculkan
berbagai kajian khazanah keilmuan, yang kemudian diaplikasikan kedalam
lembaga-lembaga pendidikan dan membentuk etos keilmuan di kalangan ummat Islam.
Karena pada masa pra modern, tidak ada masyarakat yang memiliki etos keilmuan
yang tinggi sebagaimana masyarakat muslim. Hal itu berlanjut hingga menjadikan
Baghdad, Cordova ataupun Kairo sebagai pusat peradaban dan kejayaan kebudayaan
Islam di dunia, sejak abad permulaan lahirnya Islam hingga abad ke-4 H/10 M.
Dan menjadikan kawasan Islam meluas dari Afrika Utara sampai ke Spanyol (dari
arah barat), dan dari Persia sampai ke India (dari arah timur). Mereka tunduk
kepada kekuasaan khilafah Islam. Segala ilmu pengetahuan, entah itu bersifat
keagamaan maupun lainnya berkembang dan mengalami puncak kejayaannya. Hingga
mampu mengantarkan kaum Muslim menuju masa keemasan Islam (The golden age of
Islam).[3]
Yang harus kita
kaji dan diambil manfaatnya adalah bagaimanakah proses terjadinya perubahan
tersebut, hingga mereka dari golongan kaum Muslim mampu berada dan menandingi
negara-negara lainnya? Bagaimana mereka bisa mampu menguasai dunia baik dari
segi keilmuannya ataupun dipandang dari sisi budayanya? Di sini kami akan
mencoba mengupas dan membuka kembali kenangan lama yang indah, yang dulu pernah
kita raih dalam proses transformasi terkait dengan kejayaan Islam pada masa
itu. Mulai dari periode Klasik hingga pertengahan, dengan berkiblat kepada lembaga-lembaga
pendidikannya. Dengan menggunakan metode sosio-historis, kajian ini hanya
terbatas pada pendidikan Islam pra madrasah dan pasca madrasah.[4]
A.
INTELEKTUALISME ISLAM PRA MADRASAH
Menurut Munir Mursi bahwa periode sejarah
pendidikan Islam dibagi menjadi empat periode, yaitu:
1. Periode pembinaan
Dimulainya periode ini yaitu pada saat lahirnya Islam
dengan turunnya wahyu yang pertama yang diterima oleh nabi, sampai akhir masa
kekuasaan Bani Umayyah (610-750 M).
2. Periode keemasan
Awal periode keemasan pendidikan Islam menurut Munir
Mursi ditandai dengan lahirnya Bani Abbasiyah, sampai tunduknya kota Baghdad ke
tentara Mongol (750-1258 M).
3. Periode kemunduran.
Periode ini dimulai ketika Imperium Turki Usmani, sampai
merdekanya negara-negara Islam (1258-1800 M)
4. Periode kebangkitan.
Dimulai dari merdekanya negara-negar Islam dari Imperium
Turki Usmani, hingga sekarang (1800 M-seterusnya).[5]
Dari msing-masing periode di atas mempunyai
ciri dan gaya yang berbeda. Akan tetapi terdapat satu ciri yang dominan, yaitu
kemunculan madrasah pada periode keemasan. Menurut Prof. Azyumardi Azra,
munculnya madrasah pada periode keemasan merupakan faktor historis yang
menjadikan kemapanan sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu para peneliti
sejarah pendidikan Islam, ketika meneliti lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
pernah ada, mereka menggunakan dua batasan periode, yaitu periode pra madrasah
dan pasca madrasah.[6]
Pada periode pra madrasah terjadi proses awal mula lahirnya lembaga-lembaga
pendidikan Islam, namun hanya ditandai dengan munculnya beberapa lembaga
lembaga secara informal. Pada masa Rasulullah sendiri, pendidikan Islam hanya
sebatas menjadikan rumah-rumah para sahabatnya sebagai tempat belajar dan tempat pertemuan dengan para
sahabat-sahabatnya. Salah satu diantaranya Rasulullah pernah menjadikan rumah
Arqam bin Abi Arqam sebagai tempat belajar bagi para sahabatnya untuk
memperdalam tentang pengetahuannya di dalam Islam.[7]
[1] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal.3
Lihat juga
bukunya Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer. Intelektualisme diartikan
sebagai faham pengenalan melalui kecerdasan.
[4] Abdullah Idi dan Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal.5
[5] Ibid. Lihat juga bukunya Muhammad Munir Mursi,
Ushuluha wa Tatawwuruha fi al-Bilad al-‘Arbaiyyah (Kairo: ‘Alam al-Kutub,
1977), hal.67
[6]Ibid, hal.5-6
[7]Abdullah Idi dan Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006), hal.6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar