Pertalian dua cinta yang terikat kuat antara ibu dan anak sudah
sepantasnya takkan pudar. Tetapi kekokohannya tidak menutup kemungkinan usang
dan kendur. Dan yang terlihat dalam faktanya si anaklah yang mulai mengendurkan
tali kasih itu. Ibu, rasanya terlalu mulia untuk di tuduh mengusangkan
kekokohan pertalian tersebut.
Seorang ibu tidak pernah untuk mengobral janji menyayangi anaknya.
Derai air mata dan cucuran peluhnya jauh lebih nyaring mengucapkan “sayang”
ketimbang janji manis atau bahkan omelannya ketika seorang anak membuat ulah.
Baginya cinta dan sayang selalu ada untuk anak-anaknya, hingga tidak perlu lagi
berjanji, karena janji adalah sesuatu yang belum tersedia.
Tetapi janji adalah gaungan sehari-hari yang sampai ke telinga ibu
dari sesumbar mulut anak-anaknya. Dan sering kali janji itu memekakan telinga
daripada menjernihkan mata melihat janji itu terabaikan.
Seorang anak yang sudah cukup sukses, suatu ketika mengucapkan
sesuatu kepada ibunya yang dia sayangi “ ibu, kalau sudah cukup uang, Kaila
ingin sekali memberangkatkan ibu dan ayah berangkat haji ”. Ibunya tersenyum
haru dari ujung matanya kristal-kristal beningpun terurai. Di dekapnya sang
buah hati yang memiliki niat baik itu tanpa suara. Hanya dadanya saja yang
memikul beratnya haru yang begitu besar. Bayangan masa-masa kecil anaknya yang
menyimpan banyak kenangan manispun hadir kembali. Dan bayangan kerinduan untuk
berziaroh ke baitullah. Dalam benak hatinya dia berucap “ semoga niat sucimu
terkabulkan sayang ”. Dan sebuah kecupan manis mendarat di dahi putrinya yang
cantik. Waktupun berlalu menyisakan hitungan hari, hingga suatu saat
keberuntungan berpihak pada putri yang memiliki niat baik itu. Bersama suami
dan anak-anaknya, dia kembali ke tanah kelahirannya dari tugas dinas sang
suami. Tentu di kantong keluarga itu telah terkumpul cukup uang. Hal ini di
pahami sang ibu. Seketika hatinya berbunga menyambut sang anak, menantu,
cucunya. Namun demikian, pantang bagi si ibu mengungkit janji sang putrinya
tentang naik haji itu. Ia tidak ingin seleksa terkotori sedikitpun pamrih.
Namun putrinya yang cantik seakan lupa dengan janji yang di ucapkan. Seminggu,
sebulan, hingga beberapa bulanpun
berlalu. Dalam hatinya seorang ibu itu menunggu anaknya yang mungkin akan
memberikan buku ONH ( ongkos naik haji ) atas nama dirinya dan suaminya.
Waktupun berlalu tanpa suara, sepertinya tak berani janji kapan peristiwa itu
akan terjadi. Hingga tibalah suatu hari hati seorang bunda pecah dalam diam,
anaknya itu membeli sebidang tanah yang
harganya tiga kali lipat ongkos naik haji untuk di buat kolam ikan dan tempat
peristirahatan keluarga kecilnya di saat pulang kampung.
Tak tahu sebesar apa gemuruh yang berada di hati sang ibu, hanya dia
yang tahu karena dia selalu tersenyum di
hadapan anak-anaknya tak terkecuali di depan sang putri cantiknya. Ia tidak
pernah menagih janji anaknya bahkan mengungkitpun tidak.
Tapi, entah isyarat apa
ketika ikan-ikan di kolam anaknya tak pernah menghasilkan keuntungan, rumah
tempat peristirahatannya menjadi rumah kosong yang tidak banyak memberikan
manfaat. Lalu ketika anak-anak yang lain menggunakan uang anak itu untuk
berbagi usaha tak satupun dari mereka yang untung, alih-alih kesalahpahaman
keluarga terjadi meretakan keharmonisan keluarga ibu yang di ingkari janjinya
itu. Apakah itu akibat dari sakit hati ibu karna anaknya sendiri telah
mengingkari janjinya ? hanya “ mungkin” jawabannya . karena senyum ibu tidak
pernah berubah untuk semua anaknya.
share on my facebook_ @Ichank ShOlmoen
or my email_ isholmoen@yahoo.com
share on my facebook_ @Ichank ShOlmoen
or my email_ isholmoen@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar