Selasa, 08 Januari 2013

Janji Yang Terabaikan


Pertalian dua cinta yang terikat kuat antara ibu dan anak sudah sepantasnya takkan pudar. Tetapi kekokohannya tidak menutup kemungkinan usang dan kendur. Dan yang terlihat dalam faktanya si anaklah yang mulai mengendurkan tali kasih itu. Ibu, rasanya terlalu mulia untuk di tuduh mengusangkan kekokohan pertalian tersebut.
Seorang ibu tidak pernah untuk mengobral janji menyayangi anaknya. Derai air mata dan cucuran peluhnya jauh lebih nyaring mengucapkan “sayang” ketimbang janji manis atau bahkan omelannya ketika seorang anak membuat ulah. Baginya cinta dan sayang selalu ada untuk anak-anaknya, hingga tidak perlu lagi berjanji, karena janji adalah sesuatu yang belum tersedia.
Tetapi janji adalah gaungan sehari-hari yang sampai ke telinga ibu dari sesumbar mulut anak-anaknya. Dan sering kali janji itu memekakan telinga daripada menjernihkan mata melihat janji itu terabaikan.
Seorang anak yang sudah cukup sukses, suatu ketika mengucapkan sesuatu kepada ibunya yang dia sayangi “ ibu, kalau sudah cukup uang, Kaila ingin sekali memberangkatkan ibu dan ayah berangkat haji ”. Ibunya tersenyum haru dari ujung matanya kristal-kristal beningpun terurai. Di dekapnya sang buah hati yang memiliki niat baik itu tanpa suara. Hanya dadanya saja yang memikul beratnya haru yang begitu besar. Bayangan masa-masa kecil anaknya yang menyimpan banyak kenangan manispun hadir kembali. Dan bayangan kerinduan untuk berziaroh ke baitullah. Dalam benak hatinya dia berucap “ semoga niat sucimu terkabulkan sayang ”. Dan sebuah kecupan manis mendarat di dahi putrinya yang cantik. Waktupun berlalu menyisakan hitungan hari, hingga suatu saat keberuntungan berpihak pada putri yang memiliki niat baik itu. Bersama suami dan anak-anaknya, dia kembali ke tanah kelahirannya dari tugas dinas sang suami. Tentu di kantong keluarga itu telah terkumpul cukup uang. Hal ini di pahami sang ibu. Seketika hatinya berbunga menyambut sang anak, menantu, cucunya. Namun demikian, pantang bagi si ibu mengungkit janji sang putrinya tentang naik haji itu. Ia tidak ingin seleksa terkotori sedikitpun pamrih. Namun putrinya yang cantik seakan lupa dengan janji yang di ucapkan. Seminggu, sebulan,  hingga beberapa bulanpun berlalu. Dalam hatinya seorang ibu itu menunggu anaknya yang mungkin akan memberikan buku ONH ( ongkos naik haji ) atas nama dirinya dan suaminya. Waktupun berlalu tanpa suara, sepertinya tak berani janji kapan peristiwa itu akan terjadi. Hingga tibalah suatu hari hati seorang bunda pecah dalam diam, anaknya itu membeli sebidang  tanah yang harganya tiga kali lipat ongkos naik haji untuk di buat kolam ikan dan tempat peristirahatan keluarga kecilnya di saat pulang kampung.
Tak tahu sebesar apa gemuruh yang berada di hati sang ibu, hanya dia yang  tahu karena dia selalu tersenyum di hadapan anak-anaknya tak terkecuali di depan sang putri cantiknya. Ia tidak pernah menagih janji anaknya bahkan mengungkitpun tidak.
Tapi,  entah isyarat apa ketika ikan-ikan di kolam anaknya tak pernah menghasilkan keuntungan, rumah tempat peristirahatannya menjadi rumah kosong yang tidak banyak memberikan manfaat. Lalu ketika anak-anak yang lain menggunakan uang anak itu untuk berbagi usaha tak satupun dari mereka yang untung, alih-alih kesalahpahaman keluarga terjadi meretakan keharmonisan keluarga ibu yang di ingkari janjinya itu. Apakah itu akibat dari sakit hati ibu karna anaknya sendiri telah mengingkari janjinya ? hanya “ mungkin” jawabannya . karena senyum ibu tidak pernah berubah untuk semua anaknya.

share on my facebook_ @Ichank ShOlmoen
or my email_ isholmoen@yahoo.com

Tidak ada komentar: