Selasa, 26 November 2013

Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib



A.    PENDAHULUAN
Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia, melalui pendidikan manusia bisa belajar menghadapi alam semesta demi mempertahankan kehidupannya. Karena pentingnya pendidikan, islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi dalam doktrin islam.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia agar menjadikan tujuan akhir atau hasil dari segala aktivitasnya sebagai pengabdian-Nya kepada-Nya. Aktivitas yang dimaksudkan oleh Allah tersimpul dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa manusia adalah Khalifah Allah. Dalam setatusnya sebagai khalifah ini, manusia hidup di alam mendapat kuasa atau tugas dari Allah, yaitu memakmurkan dan membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah.
Selain Al-Qur’an dan hadist nabi yang secara jelas menyerukan umat islam untuk belajar, dan spek lain yang mendorong umat islam untuk belajar sehingga pendidikan selalu mendapat perhatian umat islam. Aspek itu adalah bahwa islma memilki Al-Qur’an sebagai sumber dasar ajaran islam dan hadist nabi sebagai penjelas kehendak Tuhan.
Dalam hadist Nabi dijelaskan “carilah ilmu meski kenegeri cina karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” hadist ini menunjukan bahwa mencari ilmu tidak terbatas pada belajardasar-dasar dan hukum agama.


















B.     PEMBAHASAN
1.      PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ALI BIN ABI THALIB
Islam adalah agama fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasar manusiawi dengan landasan petunjuk Allah. Pendidikan islam berarti menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah tersebut, dan mewujudkannya dalam siistem budaya manusiawi yang islami. Oleh karena itu, wajarlah kalau islam menerima sebagian dari unsur-unsur budaya manusiawi yang telah berkembang tersebut sepanjang bisa diarahkan dan diwarnai sebagai budaya yang islami. Adapun budaya manusia yang telah berkembang tersebut yang menyimpang dari potensi fitrah manusiawi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip budaya islami, islam menolaknya dan menggantinya dengan budaya baru yang islami.
Dengan demikian, pada masa pertumbuhan budaya islam ini, sebenarnya terdapat dialog yang seru antara budaya prinsip-prinsip islami sebagaimana yang terangkum dalam Al-Qur’an dengan budaya manusiawi yang telah berkembang pada masa itu. Dialog itu terjadi dalam pemikiran sahabat yang berhadapan langsung dengan sistem budaya dari masyarakat yang baru memeluk islam. Dialog tersebut nampak dalam perbedaan-perbedaan pemikiran dan pandangan, yang menimbulkan sikap kebijaksanaan yang berbeda-beda pula dalam menghadapi masalah-masalah baru yang timbul sebagai akibat bertambah banyak pemeluk agama islam. Bentuk kongkritnya adalah tumbuhnya berbagai aliran dan madzhab dalam berbagai aspek budaya islam.
Pendidikan dalam kehidupan manusia, mempunyai peranan yang sangat penting. Ia dapat membentuk kepribadian seseorang. Ia diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan produktivitas seseorang.
Masa Khulafaurrasyidin sering disebut pula masa Shahabat-sahabat besar yang berlangsung dari tahun 11-40 H, adapun Khulafaurrasyidin ini adalah pemimpin-pemimpin Islam yang arif dan bijaksana didalamnya terdapat 4 orang khalifah yaitu Abu Bakr Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Masalah yang pertama-tama dihadapi oleh para sahabat begitu Rasulallah wafat adalah masalah siapa dan bagaimana pengganti menggantikannya, beliau tidak memberikan petunjuk dalam hal ini. Berbagai pandangan berkembang dikalangan sahabat tentang siapa yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sementara itu Ali bin Abi Thalib merasa berhak atas dasar dekatnya kekerabatan dan sebagai pewaris dari Nabi, untuk memegang kepemimpinan tertinggi.
Berbeda dengan para khalifah sebelumnya, khalifah usman bin affan tidak membentuk dewan pemilihan atau penunjuk calon pengganti dirinya kelak. Mungkin karena itu beliau meninggal dunia akibat pembunuhan oleh orang-orang yang tidak setuju dengan kebijakannya. Oleh sebab itu, sepeninggal Usman bin Affan, kota madinah dilanda huru hara selama 5 hari, pada saat itu Abdullah bin Saba sebagai gubernur Mesir mengusulkan agar Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah pengganti Usman bin Affan. Usulan gubernur mesir itu disetujui oleh mayoritas umat islam.
Pada mulanya Ali tidak mau menerima usulan tersebut dalam kondisi kritis seperti itu. Namun setelah mendapat desakan dari berbagai pihak. Ali pun menerimanya demi kepentingan islam dan kaum muslimin. Mayoritas kaum muslimin menyatakan setuju dan membaiatnya sebagai khalifah, kecuali Muawiyah bin abi sufyan Gubernur Syiria. Namun demikian Ali tetap menjadi khalifah yang sah dan ditetapkan sebagai khalifah Rasyidin ke empat.[1]
Sejak kekuasaannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib selalu diselimuti pemberontakan hingga berakhir tragis dengan terbunuhnya khalifah pada awal pemerintahannya, sudah digoncang peperangan dengan Aisyah (istri Nabi). karena kesalah pahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap Usman, peperangan di antara mereka disebut Peperangan Jamal (unta) karena Aisyah menggunakan kendaraan unta. Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada zaman empat khalifah belum berkembang seperti masa-masa sesudahnya. Pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, yang menekankan pada baca tulis dan ajaran-ajaran islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, hal ini disebabkan oleh konsentrasi umat islam terhadap perluasan wilayah islam dan terjadinya pergolakan politik, khususnya dimasa Ali bin Abi Thalib.[2]
Pada masa ini, penaklukkan ke timur dan ke barat dan kaum muslimin memerintah dari Amir atas sebagian besar persi hingga sampai sungai jihan (Amudariya) dari utara atas suriyah dan negeri Armenia, dari Barat atas Mesir. Dan dibukanya kota kota besar Islam seperti Fusthat, Kufah, dan Damaskus.
Dengan demikian agama Islam tersebar seluruh Negara Islam yang luas dipeluk oleh penduduk dengan segala suka hati, bukan dengan paksa atau kekerasan. Pusat pendidikan bukan hanya di Madinah saja, bahkan telah tersebar pula di kota-kota besar sebagai berikut :
a.    Kota Mekkah dan Madinah (Hijaz)
b.    Kota Bashrah dan Kufah (Iraq)
c.    Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
d.   Kota Fistat (Mesir).[3]
Sahabat-sahabat bertebaran ke berbagai daerah dan disana mereka menjadi pemimpin sekaligus menjadi pendidik muslim di tempat masing masing sehingga pendidikan tidak berpusat da Madrasah saja. Selanjutnya praktek pengelolaan pendidikan pada masa ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)   Prinsip prinsip pendidikan:
a)      Pendidikan diarahkan pada mengajarkan isi Al-Quran.                                                       
b)      Pendidkan diajarkan dengan menggunakan dialek daerah masing masing, sehingga sering timbul perselisihan dalam bacaan Al-Quran. Untuk itu Usman bin Affan mengambil kebijaksanaan menyusun Al-Quran dalam satu Mushaf.
2)   Sumber pendidikan diambil dari Al-Quran, Hadits, alam sekitar (millu) da ijtihad dalam bentuk ijma dan Qiyas.
3)   Kurikulum atau rencana pelajaran meliputi :
a)      Bidang keagamaan yang mencakup aqidah, Ubudiyah, Akhlaq dan Muamalah.
b)      Pada masa Umar digalakan pendidikan keterampilan hal ini termaktub dalam instruksi Umar bin Khattab yang dikirimkan kepada penduduk-penduduk kota yang isinya “Amma ba’du”. Ajarkanlah kepada anak-anak kamu berenang, kepandaian menunggang kuda, dan tuturkanlah kepada mereka pepatah-pepatah yang masyhur dan syair-syair yang baik.
c)      Rencana pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
d)     Pada masa Ali bin Abi Thalib digalakkan motivasi belajar.
4)      Lembaga pendidikan pada masa Khulafaurrasyidin tidak berbeda dengan masa Nabi SAW, yaitu :
a)      Kuttab sebagai lembaga pendidikan rendah yang didalamnya mengajarkan kepada anak-anak dalam hal baca dan tulis dan sedikit pengetahuan-pengetahuan agama.
b)      Masjid sebagai pusat pendidikan umat Islam yang telah mukallaf pada masa permulaan Islam belum terdapat sekolah formal seperti pada masa sekarang.[4]
Muawiyah sebagai gubernur di Damaskus memberontak untuk menggulingkan kekuasannya. Peperangan ini disebut dengan peperangan Shiffin, karena terjadi di Shiffin. Ketika tentara Muawiyah terdesak oleh pasukan Ali, maka Muawiyah segera mengambil siasat untuk menyatakan tahkim (penyelesaian dengan adil dan damai). Semula Ali menolak, tetapi desakan sebagian tentaranya akhirnya Ali menerimanya, namun tahkim malah menimbulkan kekacauan, sebab Muawiyah bersifat curang. Dan dengan tahkim Muawiyah berhasil mengalahkan Ali dan mendirikan pemerintahan tandingan di Damaskus. Sementara itu, sebagian tentara yang menentang keputusan Ali dengan cara tahkim, meninggalkan Ali dan membuat kelompok tersendiri yaitu khawarij.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Ali telah terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa pemerintahannya tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa, kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu Ali tidak sempat memikirkan masalah pedidikan sebab keseluruhan perhatiannya ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam.[5]
(1)   KURIKULUM PENDIDIKAN          
Kurikulum pendidikan di madinah selain berisi materi pengajaran yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan, yakni Al-Qur’an, Al-Hadits, hukum Islam, kemasyarakatan, ketatanegaraan, pertahanan keamanan dan kesejahteraan sosial.
(2)   SASARAN (PESERTA DIDIK)
Peserta didik di zaman Khulafaur Rasyidin terdiri dari masyarakat yang tinggal di Mekkah dan Madinah. Namun yang khusus mendalami bidang kajian keagamaan hingga menjadi seorang ynag mahir, alim dan medalam penguasaannya di bidang ilmu agama jumlahnya masih terbatas. Sasaran pendidikan dalam arti umum yakni membentuk sikap mental keagamaan adalah seluruh umat Islam yang ada di Mekkah dan Madinah. Adapun sasaran pendidikan dalam arti khusus, yakni membentuk ahli ilmu agama adalah sebagian kecil dari kalangan tabi’in yang selanjutnya menjadi Ulama.
(3)   TENAGA PENDIDIK
Yang menjadi pendidik di zam Khulafaur Rasyidin antara lain adalah Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Anas bin Malik, Zaid bin Tsabut, Abu Dzar Al-Ghifari. Dari mereka itulah kemudian lahir para siswa yang kemudian menjadi Ulama dan pendidik.
Khulafaur Rasyidin kemudian menentukan criteria pendidik, sebagaimana criteria yang diberikan oleh Rasulullah SAW, yaitu professional, memiliki kompetensi pedagogik, memiliki kompetensi kepribadian dan akhlaq mulia, serta memiliki kompetensi sosial, tampil rapih dan bersih, dan selalu menjaga kesehatan.
(4)   METODE DAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN
Metode yang digunakan dalam mengajar yaitu dengan bentuk halaqah. Yakni guru duduk dibagian ruangan masjid kemudian dikelilingi oleh para siswa. Guru menyampaikan ajaran kata demi kata dengan artinya dan kemudian menjelaskan kandungannya. Sementara para siswa menyimak, mencatat, dan mengulanginya apa yang dikemukakan oleh para guru.
(5)   PUSAT-PUSAT DAN LEMBAGA PENDIDIKAN
Lembaga pendidikan yang digunakan masih sama dengan lembaga pendidikan yang digunakan di zaman Rasulullah SAW, yaitu masjid, suffah, kuttab, dan rumah.
(6)   PEMBIAYAAN DAN FASILITAS PENDIDIKAN
Pada masa Khulafaur Rasyidin sebagian besar waktu banyak digunakan untuk melakukan konsolidasi ke dalam, yakni memantapkan komitmen sebagian umat Islam kepada ajaran Islam, memadamkan berbagai pemberontakan serta perluasan wilayah dakwah Islam.dengan demikian kesempatan untuk melakukan pembangunan dan mengadakan berbagai kebutuhan fasilitas masih belum mendapatkan perhatian yang memadai.
(7)   EVALUASI DAN LULUSAN PENDIDIKAN
Kegiatan evaluasi pendidikan masih berlangsung secara lisan dan perbuatan, yakni bahwa kemampuan seseorang dalam menguasai bahan pelajaran dilihat pada kemampuannya mengemukakan, mengajarkan, dan mengamalkan ajaran tersebut. Para shahabat yang dinilai memiliki kecakapan dalam ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fatwa, dan sejarah kemudian dipercaya oleh masyarakat untuk menagajar atau menyampaikan ilmunya itu kepada orang lain.[6]
Ulama sahabat yang tinggal di kuffah ialah Ali Bin Abi thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali Bin Abi Thalib mengurus masalah politik dan urusan pemerintahan, sedangkan Abdullah bin mas’ud adalah utusan resmi khalifah Umar untuk menjadi guru agama di Kuffah.
Sahabat Ali bin Abi Thalib juga mengajar di madrasah madinah saat kekuasaan dibawah tangan khalifah Abu Bakar. Kurikulum pendidikan islam merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan pendidikan islam pada masa KhulafaUrrasyidin ini meliputi bidang keagamaan yang mencakup tentang akidah, ubudiyah, akhlak dan muamalah. Barulah pada masa Ali bin Abi Thalib digalakkan motivasi untuk belajar.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa meluasnya daerah kekuasaan islam dibarengi dengan usaha penyampaian ajaran islam kepada penduduknya oleh para sahabat, baik yang ikut sebagai anggota pasukan, maupun yang kemudian dikirim oleh khalifah dengan tugas khusus mengajar dan mendidik. Maka diluar madinah, dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasi, berdirilah pusat-pusat pendidikan dibawah pengurusan para sahabat yang kemudian diteruskan oleh para penggantinya (tabi’in) dan seterusnya.
Mahmud Yunus dalam bukunya “sejarah pendidikan islam” menerangkan bahwa pusat-pusat pendidikan tersebut tersebar dikota-kota besar sebagai berikut:
(a)    Di kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
(b)  Di kota Basrah dan Kuffah (Irak)
(c)  Di kota Damsyik dan Palestina (Syam)
(d) Di kota Fistat (Mesir)
Dipusat-pusat pendidikan tersebut, para sahabat memberikan pelajaran agama islam pada muridnya, baik yang berasal dari penduduk setempat maupun dari daerah lain. Dipusat-pusat pendidikan tersebut, timbullah madrasah-madrasah, yang masih merupakan sekedar tempat memberikan pelajaran dalam bentuk khalaqah dimasjid atau tempat pertemuan yang lainnya.
Akan tetapi madrasah madinah disini termasyhur karena disanlah tempat para sahabat berkumpul dan mengajar begitu pula sahabat ali Bin Abi Thalib menjadi salah satu guru dimadrasah madinah.[7]

Penyampaian sumber-sumber hukum islam disampaikan dengan metode-metode yang disesuaikan dengan kondisi budaya masyarakat. Walaupun menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat, tetapi untuk tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap sumber hukum hukum maka dibuatlah standar Al-qur’an pada masa Khalifah Umar.


















C.    PENUTUP/KESIMPULAN
Sejarah itu sangatlah penting dalam kehidupan kita dimasa yang akan datang, dan sejarah adalah sebagai alat evaluasi agar kedepanya jauh lebih baik lagi. Sebagaimana sejarah pendidikan pada masa Rasulalah hingga sahabat Ali Bin Abi Thalib sistem dalam pengajaran pendidikan masih terararah dengan Al-Qur’an dan hadist.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Ali telah terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa pemerintahannya tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa, kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu Ali tidak sempat memikirkan masalah pedidikan sebab keseluruhan perhatiannya ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam.
Meskipun sempat mengalami pemberontakan-pemberontakan pada masanya, Sahabat Ali Bin Abi Thalib tetap menggalakkan kaumnya untuk tetap belajar walawpun tidak terlalu terfokus dalam dunia pendidikan karena Ali Bin Abi Thalib lebih memfokuskan diri terhadap keamanan masyarakatnya saat itu yang sempat mengalami pertumpahan.
Demikian lah dasar-dasar pandangan islam tentang pendidikan yang memilki kedudukan penting dalam ajaran islam sehingga pendidikan selalu diutamakan oleh umat islam.



D.    DAFTAR PUSTAKA
Wahid. 2009. Sejarah kebudayaan Islam Madrasah Aliyah. Bandung :CV. Armico.
Asrohah, Hanun.1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Natta, Abadin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Ciputat : Kencana Prenada Media Group.
Wahidin, Khoirul dkk. 1996. Sejarah Pendidikan Islam dan Indonesia. Cirebon : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati.
Yunus, Muhammad. 1989. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Hidakarya Agung.




[1] Wahid,Sejarah kebudayaan Islam Madrasah Aliyah,(Bandung:CV. Armico,2009),hh:32
[2] Hanun Asrohah,Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1999),hh:20
[3] Abaddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Ciputat : Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 33
[4] Khoirul Wahidin, dkk, Sejarah Pendidikan Islam dan Indonesia (Cirebon : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1996), h. 20-22
[5] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Hidakarya Agung, 1989), h. 116-117
[6] Ibid, h. 121-124
[7] Dzuhairini dkk,Sejarah Pendidikan Islam,(Bumi Aksara:Jakarta,1997)

Tidak ada komentar: