Selasa, 26 November 2013

Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Khalifah Utsman Bin 'Affan



A.      PENDAHULUAN
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Abil Ash bin Umaiyah. Beliau masuk Islam atas seruan Abu Bakar. Utsman diangkat sebagai khalifah hasil dari pemilihan panitia enam yang ditunjuk oleh Khalifah Umar bin Khatab menjelang beliau akan meninggal. Panitia yang enam adalah Utsman, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin ‘Auf.
Khalifah Utsman memerintahkan kepada tim untuk penyalinan al-Qur’an, adapun tim tersebut adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits.
Bila terjadi pertikaian bacaan, maka harus diambil pedoman kepada dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an ini diturunkan menurut dialek mereka sesuai dengan lisan Quraisy. Zaid bin Tsabit bukan orang Quraisy sedangkan ketiganya adalah orang Quraisy.[1]Kholifah Utsman sudah merasa cukup dengan pendidikan yang ada, namun begitu ada usaha yang cemerlang yang telah terjadi di masa ini yang berpengaruh bagi pendidikan  Islam, yaitu mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-qur’an. Penyalinan ini terjadi karena adanya perselisihan dalam bacaan.[2]

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَاب
(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah,”Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar : 9).
Tidak banyak yang dilakukan khalifah Utsman bin Affan. Tetapi beliau melakukan sebuah gagasan baru yang dapat kita nikmati saat ini.














B.     PEMBAHASAN
1.      PENDIDIK
Yang menjadi pendidik  di zaman Khulafaur Rasyidin antara lain adalah Abdullah ibn Umar, Abdu Hurairah , Ibnu Abas, Siti Aisyah , Anas bin Malik, Zaid Ibn Tsabit, Abu Dzar al-Ghifari dan para ulama.[3]

Dari penjelasan tersebut dapat terlihat bahwa masih adanya peranan beberapa sahabat dan para ulama. Tetapi ada yang berbeda dari pendidik pada masa Utsman ini.
Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah di masa Khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar di daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah.[4]

Tugas mendidik dan mengajar umat pada masa ini diserahkan pada umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat guru-guru, dengan demikian para pendidik sendiri melaksanakan tugasnya hanya dengan mengharapkan keridhaan Allah. Jadi pada masa Khalifah ini guru-guru atau pendidik mengajar tidak mengharapkan imbalan melainkan keikhlasan dan juga kualifikasi kemampuan. Berbeda sekali dengan zaman sekarang yang terkadang sebagian guru lebih mementingkan upah daripada kualitas dirinya. Selain itu adanya kesadaran dari pada guru untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmunya meskipun tidak adanya tuntutan dari pemerintah.

Dari dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam[5]

Dengan adanya perluasan wilayah, maka banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan agama Islam.Selain itu, adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli dengan para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Terobosan yang dilakukan Khalifah Utsman ini membuat pendidik dapat memperluas wilayah mengajar mereka tidak hanya di Mekkah dan Madinah saja.
Menurut slide share.net ada beberapa tenaga pendidik diantaranya :
a.       Para Khalifah itu sendiri
b.      Para sahabat besar, antara lain :
1)      Abdullah bin Umar
2)      Abu Hurairah
3)      Abdullah bin Abbas
4)      Aisyah
5)      Anas bin Malik
6)      Zaid bin Tsabit
7)      Abdullah bin Mas’ud

Berarti  menurut pendapat kelompok kami  peran para sahabat besar pun turut memeperkuat pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin tersebut.

2.      PESERTA DIDIK

a.       Orang dewasa dan atau orang tua yang baru masuk Islam
b.      Anak – anak, baik orang tuanya telah lama memeluk Islam ataupun yang baru memeluk Islam.
c.       Orang dewasa dan atau orang tua yang telah lama memeluk Islam.
d.      Orang yang mengkhususkan dirinya menuntut ilmu agama secara luas dan mendalam.[6]

Para muallaf juga dapat atau berhak mendapat pendidikan karena selain mereka masih baru dalam beragama Islam mereka juga tentu masih memerlukan bimbingan dari para guru. Terlihat pula baik mereka yang sudah lama dan paham akan agama Islam ataupun baru dan belum paham akan agama Islam berhak mendapat pendidikan dan dapat dipahami bahwa menuntut ilmu itu hendaknya sepanjang hayat, tidak hanya hingga kita sudah menguasai ilmu atau sudah lulus dari lembaga pendidikan tersebut. Karena seyogyanya hidup adalah belajar. Tanpa belajar tanpa mencari tahu, tanpa ilmu kita akan buta. Jika dalam hadits disebutkan bahwa “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Maka dari itu batas kita untuk tidak belajar adalah akhir hayat kita.
Terobosan yang dilakukan Khalifah Utsman ini mempermudah peserta didik yang berada diluar Madinah untuk menuntut ilmu, juga memperluas wilayah penyebaran Islam. Sehingga mereka yang jauh dari kota Madinah dan Mekkah tidak harus jauh-jauh pergi ke kota Madinah dan Mekkah.
Ada pendapat lain dari slide share.net
Peserta didik yaitu :
a.       Umum
Membentuk sikap mental keagamaan, seluruh umat Islam yang ada di Makkah dan Madinah
b.      Khusus
Membentuk ahli ilmu agama, hanya sebagian kecil saja

Menurut slide share.net peserta didik ada dua yaitu umum dan khusus.
Umum ditujukan agar terbentuknya sikap mental keagamaan diantara yang mengikuti yaitu umat Islam yang ada di Makkah dan Madinah. Sedangkan yang khusus ditujukan agar membentuk ahli agama. Pembagian peserta didik ini lebih sedikit dibandingkan dengan pendapat Bapak Samsul Nizar diatas, tetapi mencakup apa yang di sampaikan Bapak Samsul Nizar. Hanya tambahan yang disampaikan slide share.net ada tujuan. Untuk peserta didik khusus  diantaranya meliputi tingkatan yang lebih sudah paham agama ingin memperdalam kembali.
Khalifah Utsman bin Affan sudah merasa cukup dengan pendidikan yang sudah berjalan, namun begitu ada satu usaha yang cemerlang yang telah terjadi di masa ini yang disumbangkan untuk umat Islam, dan sangat berpengaruh luar biasa bagi pendidikan Islam, yaitu untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat al-Qur’an[7].

Pengkodifikasi al-Quran pada masa khalifah Utsman dilakukan karena terjadi perbedaan pendapat tentang bacaan al-Quran (qiraat al-Quran), yang menimbulkan percekcokan antara guru dan muridnya.
Panitia pengkodifikasian al-Quran yang dibentuk oleh khalifah Utsman bin Affan ini pertama-tama melakukan pengecekan ulang dengan meneliti mushaf yang sudah disimpan di rumah Hafsah dan membandingkannya dengan mushaf-mushaf yang lain. Ketika itu terdapat empat mushaf al-Quran yang merupakan catatan pribadi.
Mushaf al-Quran yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib, terdiri atas 111 surah. Surah pertama adalah surah al-Baqarah dan surah terakhir adalah surah al-Muawidzatain.
Mushaf al-Quran yang ditulis oleh Ubay bin Ka’ab, terdiri atas 105 surah. Surah pertama adalah al-Fatihah dan surah terakhir adalah surah an-Nas.Mushaf al-Quran yang ditulis oleh Ibn Mas’ud, terdiri atas 108 surah. Surah yang pertama adalah al-Baqarah dan yang terakhir adalah surah Qulhuwallahu Ahad.    
Mushaf al-Quran yang ditulis oleh Ibn Abbas, terdiri atas 114 surah. Surah pertama adalah surah Iqra dan yang terakhir adalah Surah an-Nas.

Tugas tim adalah menyalin mushaf al-Quran yang disimpan dirumah Hafsah dan menyeragamkan qiraat atau bacaanya mengikuti dialek Quraisy. Kemudian setelah berhasil, Zaid bin Tsabit mengembalikannya kepada Hafsah. Kemudian salinan itu dikirim juga ke Makkah, Madinah, Bashrah, Kuffah, dan Syiria serta salah satunya disimpan oleh Utsman bin Affan yang kemudian disebut mushaf al-imam. Sedangkan mushaf yang lain, diperintahkan untuk dibakar.[8]

 

Terlepas dari perbedaan pendapat, dengan adanya mushaf utsmani ini telah berhasil mengeluarkan masyarakat muslim dari kemelut, yang diakibatkan dari perbedaan bacaan al-Quran (qiraat).

Mata pelajaran yang di berikan disesuaikan dengan kebutuhan terdidik dengan urutan mendahulukan pengetahuan yang sangat mendesak/ penting untuk dijadikan pedoman dan pegangan hidup beragama.
Ada 3 fase dalam pendidikan dan pengajarannya:
1.      Fase pembinaan    ; dimaksudkan untuk memberikan kesempatan agar
terdidik memperoleh kemantapan iman
2.      Fase pendidikan   : ditekankan pada ilmu- ilmu praktis dengan maksud
agar mereka dapat segera mengamalkan ajaran dan tuntunan agama dengan sebaik- baiknya dalam kehidupan sehari- hari
3.      Fase pelajaran       : ada pelajaran –pelajaran lain yang diberikan untuk
penunjang pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadits, seperti bahasa Arab dengan tata bahasanya, menulis, membaca,syair dan peribahasa.[9]

Pembagian fase diatas berdasarkan penggolongan peserta didik yang terbagi empat diatas. Dapat dipahami dari fase-fase diatas bahwa sejak dulu telah ada tahap-tahap pendidikan sesuai dengan masanya. Dimana cara membina murid yang baru mengenal Islam, baru menjajaki Islam berbeda dengan murid yang sudah mengenal Islam dan sudah paham tentang Islam.  Karena segala sesuatunya memang membutuhkan proses jadi sejak dulu telah ada dasar bahwa cara untuk belajar juga tidak sekali belajar langsung pintar tetapi butuh tahapan. Ibarat ingin berada diatas tangga, kita tidak akan  bisa sampai langsung diatas tangga, kita perlu menaiki setahap demi setahap tangga itu. 

C.    Metode Pembelajaran dan Lembaga Pendidikan
Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih ringan dan lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta didik yang ingin menuntut dan belajar Islam dan dari segi pusat pendidikan juga lebih banyak, sebab pada masa ini para sahabat memilih tempat yang mereka inginkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Akhirnya sahabat Huzaifah bin  Yaman mengusulkan kepada Utsman untuk menyeragamkan bacaan. Utsman pun lalu membentuk panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin mushaf yang disimpan oleh Hafsah dan menyeragamkan bacaan Qur’an. Perluasan Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi sendiri dilakukan karena semakin bertambah banyaknya umat muslim yang melaksanakan haji setiap tahunnya.
Pola pendidikan pada masa Utsman tidak jauh berbeda dengan pola pendidikan yang diterapkan pada masa Umar. Hanya saja pada periode ini, para sahabat yang asalnya dilarang untuk keluar dari kota madinah kecuali mendapatkan izin dari khalifah, mereka diperkenankan  untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang mereka sukai. Dengan kebijakan ini, maka orang yang menuntut ilmu (para peserta didik) tidak merasa kesulitan untuk belajar ke Madinah[10]

Dari ke empat golongan terdidik tersebut, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran tidak mungkin dilakukan dengan cara menyamaratakan tetapi harus diadakan pengklasifikasian yang rapih dan sistematis, disesuaikan dengan kemampuan dan kesanggupan dari peserta didiknya. Adapun metode yang digunakan adalah:
1.      Golongan pertama menggunakan metode ceramah, hafalan, dan latihan dengan mengemukakan contoh – contoh dan peragaan.
2.      Golongan kedua menggunakan metode hafalan dan latihan
3.      Golongan ketiga menggunakan metode diskusi, ceramah, hafalan, tanya jawab
4.      Golongan keempat menggunakan metode ceramah, hafalan Tanya jawab, dan diskusi serta sedikit hafalan. Pendidikan dan pengajaran pada golongan ini lebih bersifat pematangan (dan pendalaman

Pada masa Khulafaur Rasyidin pusat-pusat pendidikan bukan hanya terdapat di Mekkah dan Madinah, melainkan juga sudah tersebar di berbagai daerah kekuasaan Islam lainnya.  Adapun lembaga-lembaga pendidikan yang digunakan masih sama dengan lembaga yang digunakan di zaman Rasulullah Saw.yaitu masjid, Suffah, Kuttab, dan rumah.[11]
C.    PENUTUP/KESIMPULAN

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan tidak terjadi perubahan pola pendidikan,. Akan tetapi, terjadi sebuah penyeragaman cara membaca Al-Qur’an dan terjadinya pertambahan peserta didik dimana hal itu membuat lebih banyak lagi yang paham tentang Islam dan mempermudah mereka yang belajar agama Islam, karena dahulu ketika masa Khalifah Umar para sahabat dan ahli agama tidak boleh pergi keluar Mekkah dan Maddinah. Metode yang digunakan yaitu halaqah, hafalan, diskusi (Tanya jawab), latihan, ceramah, dll.




















D.    DAFTAR BACAAN

Nizar,2007, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, Jakarta: Kencana.
Yunus, Mahmud , 1989, Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta :Hidayakarya Agung.
Abudin, Nata,2011, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Media Group.
Dudung Abdurrahman, 2009, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Lesfi
Amin, Samsul Munir,2009, “Sejarah Peradaban Islam” , Jakarta; Amzah
Siti Maryam, dkk., (ed.) Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, 2003,Yogyakarta : Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga kerjasama dengan LESFI
http://jumadiattayani.blogspot.com/2012/12/pola-pendidikan-khulafaurrasyidin.html
Nizar,Syamsul, 2008, “Sejarah Pendidikan Islam” ,Jakarta; Prenada Media
Slide share.net











[1] http://gudangmakalahku.blogspot.com/2013/04/pola-pendidikan-islam-pada-masa.html
[2] Mahmud Yunus ,Sejarah Pendidikan Islam ,(Jakkarta :Hidayakarya Agung ,1989)
[3] Prof. Dr. H. Nata Abudin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Media Group, 2011), h. 121
[4] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan      Era Rasulullah sampai Indonesia,( Jakarta: Kencana, 2007), h. 51
[5] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2009), h. 59
[6]  Op.Cit. Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag ,h.51
[7] Samsul Munir Amin M.A. “Sejarah Peradaban Islam” 2009 (Jakarta; Amzah)h. 105
[8] Siti Maryam, dkk., (ed.) Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta : Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga kerjasama dengan LESFI, 2003), hh. 54-55
[9] http://jumadiattayani.blogspot.com/2012/12/pola-pendidikan-khulafaurrasyidin.html
[10] Syamsul Nizar. “Sejarah Pendidikan Islam” 2008 (Jakarta; Prenada Media) h.49
[11] Op.Cit.Prof. Dr. H. Nata Abudin,  h. 123

Tidak ada komentar: