Selasa, 26 November 2013

Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Daulah Bani Umayyah di Damaskus



A.    PENDAHULUAN




Artinya:
18. “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
19. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”.
20. “Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". dan Katakanlah kepada orang-orang yang Telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". jika mereka masuk islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”.

[18]  ayat Ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.
[19]  maksudnya ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran.
[20]  Ummi artinya ialah orang yang tidak tahu tulis baca. menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan ummi ialah orang musyrik Arab yang tidak tahu tulis baca. menurut sebagian yang lain ialah orang-orang yang tidak diberi Al Kitab.


Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran kepada peserta didik dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan peserta didik tersebut. Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh, dan terbaik di antara makhluk lainnya. Kelebihan makhluk tersebut bukan hanya sekedar berbeda susunan fisik, tetapi lebih jauh dari itu, manusia tersebut memiliki kelebihan pada asfek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut memiliki potensinya masing-masing yang sangat mendukung bagi proses aktualisasi diri pada posisinya sebagi makhluk yang mulia. Dengan potensi fisik dan psikis tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.
Oleh karena itu, peserta didik dalam kapasitasnya sebagai manusia yang merupakan makhluk individual dan sosial, ia harus terus berkembang dan memiliki pengalaman-pengalaman transcendental yang menjadikan harus terus menyempurnakan diri sejalan dengan totalitas potensi yang dimilikinya dengan tetap bersandar pada nilai-nilai agama.








B.     PEMBAHASAN
1.      SISTEM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA UMAYYAH
Pada masa ini telah memasuki babak baru, dimana kesetabilan politik telah dirasakan oleh negeri-negeri islam. Oleh karena itu, tidak heran jika perhatian orang-orang islam sudah mengarah pada masa kebudayaan, ilmu pengetahuan dan peradaban-peradaban baru. Dalam waktu yang sama mereka memberi perhatian besar pada ilmu bahsa, sastra, dan agama untuk memeliharanya dari pikiran-pikiran luar.
Jadi, pada masa umayyah, dari segi pemikiran pendidikan adalah kelanjutan pemikiran pendidikan pada masa nabi dan masa khulafaurrasyidin. Pemikiran dari luar sangat terbatas.
Pemikiran pendidikan islam pada masa umayyah tampak dalam bentuk nasehat-nasehat khalifah kepada pendidik anak-anaknya, yang memenuhi buku sastra, yang menunjukan bagaimana teguhnya mereka berpegang pada tradisi Arab dan Islam. Salah satu nasehat tersebut adalah nasehat Abdul Malik bin Marwan kepada pendidik anknya, “ hendaklah pendidik mendidik akal, hati, dan jasmani anak-anak.
Pemikiran pendidikan islam pada masa Umayah  ini juga tersebar pada beberapa tulisan para ahli nahwu, sastra, hadis, dan tafsir. Pada masa ini para ahli tersebut mulai mencatat (modifikasi) ilmu-ilmu bahasa, sastra dan agama untuk menjaganya agar tidak diselundupkan pikiran-pikiran lain dan perubahan yang merusak,yang tanda-tandanya sudah banyak terlihat pada waktu itu karena musuh islam selalu berusaha menghancurkan islam dari dalam setelah mereka gagal menghancurkannya dengan kekuatan tentara. Dengan upaya tersebut mereka berusaha memecahkan pengikut-pengikut islam dari segi ideologi.[1]
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun menurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.
2.      TEMPAT DAN LEMBAGA PENDIDIKAN
Dalam periode Daulah bani Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya yaitu: pendidikan khusus dan pendidikan umum. Pendidikan khusus adalah pendidikan diselenggarakan dan diperuntukan bagi anak-anak khafilah dan anak-anak para pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahannya. Tetapi orang tua murid pun turut pula menentukan.
Adapun rencana pelajaran bagi sekolah ini adalah menulis dan membaca Al-Quran dan Hadits, Bahasa Arab dan syair-syair yang baik, sejarah bangsa arab dan peperangan, adab kesopanan dalam perilaku pergaulan, pelajaran-pelajaran keterampilan menggunakan senjata, menunggang kuda dan kepemimpinan berperang.
Pendidikan lainya adalah pendidikan yang diperuntukan bagi rakyat biasa pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah dilaksanakan sejak pada zaman Nabi masih hidup, ia merupakan sarana pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan agama. Dengan demikian, maka tidaklah mengherankan bila usaha kegiatan pendidikan dan pengembangan ilmu memperoleh kesempatan yang baik. Para ulama bertanggung jawab terhadap kelancaran jalannya pendidikan dan merekalah yang memikul tugas menggajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan kepada rakyat.
Bila kita bandingkan tujuan dari kedua pendidikan tersebut akan diperoleh kesimpulan bahwa yang pertama, bertujuan untuk memperoleh kekuasaan dan kekuataan politis sedangkan yang kedua, bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran yang ditunjang oleh keyakinan agama.
Adanya perbedaan tujuan dan pendidikan menunjukan adanya perbedaan pandangan hihup. Pertama, menghasilkan pimpinan formal yang didukung oleh jabatan kenegaraan dengan wibawa kekuasaan. Kedua, menghasilkan pimpinan informasi yang didukung oleh karisma dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, diantara para khalifah bani umayyah pun terdapat pula orang yang alim seperti khalifah Umar Ibnu Abdul Azis.[2]

3.      METODE PEMBELAJARAN
Dalam pembelajaran Al-Quran, metode pembelajaran yang digunakan metode hapalan, gimana anak-anak menghapal surat-surat singkat dan mereka pun membaca bersama-sama, hal ini diulang berkali-kali sampai mereka hapal diluar kepala. Dalam metode ini soal dari arti surat-surat yang mereka hapal tidak dipentingkan, murid-murid mengapal ayat-ayat tersebut tanpa mengerti maksudnya hanya untuk sekedar mengambil berkah Al-Quran dan menanamkan jiwa keagamaan jiwa yang sholeh dan bertaqwa didalam di anak-anak yang masih muda itu dan dengan keyakinan bahwa periode anak-anak adalah waktu yang sebaik-baiknya buat penghapalan secara otomatis dan mempererat ingatan.
Metode menghapal digunakan untuk pengajaran syair dan sajak bagi anak-anak. Sedangkan untuk pembelajaran membaca dan menulis diajarakan metode praktek langsung. Khusus untuk menulis diajarakan menulis indah. Kaum muslimin sangat memperhatikan sekali soal menulis indah dan digolongkan dengan seni lukis.
Bedasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri pendidikan islam pada zaman Bani Umayyah adalah bersifat Arab dan islam tulen, berusaha menangguhkan dasar-dasar agama islam yang baru muncul itu, mempreriotaskan pada penterjemahan kedalam bahasa arab, menunjukan perhatian pada bahan tertulis sebagai media komunikasi, menggunakan surau dan masjid.[3]
Dalam bidang ilmu pengetahuan, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan agama saja, tetapi ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, filsafat, astronomi, geografi, sejarah, bahasa dan sebagainya. Kota yang menjadi pusat kajian ilmu pengetahuan antara lain, Damaskus, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Cordova, Granada dan lain-lain, dengan masjid sebagai pusat pengajarannya, selain madrasah atau lembaga pendidikan yang ada.
Dinasti Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, Muawiyah bin Abi Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tentu yang menyediakan kuda lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Spesialisasi jabatan Qadhi atau hakim yang berkembang menjadi profesi tersendiri. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Byzantium dan Persia dengan mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M yang memakai kata-kata dan tulisan Arab, kemudian melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M) banyak membangun panti-panti untuk orang cacat, jalan raya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[4]
C.    PENUTUP
Pada masa ini telah memasuki babak baru, dimana kesetabilan politik telah dirasakan oleh negri-negri islam. Oleh karena itu, tidak heran jika perhatian orang-orang islam sudah mengarah pada masa kebudayaan, ilmu pengetahuan dan peradaban-peradaban baru. Dalam waktu yang sama mereka memberi perhatian besar pada ilmu bahsa, sastra, dan agama untuk memeliharanya dari pikiran-pikiran luar.
Dalam periode Daulah bani Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya yaitu: pendidikan khusus dan pendidikan umum. Pendidikan khusus adalah pendidikan diselenggarakan dan diperuntukan bagi anak-anak khafilah dan anak-anak para pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahannya. Tetapi orang tua murid pun turut pula menentukan.









D.    DAFTAR BACAAN
Susanto, 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.
Soekarno dan Supardi Ahmad, 2001. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam.    Bandung: Angkasa.
Taqiyuddin, 2008. Sejarah Pendidikan. Bandung: Mulia Press.
Yatim Badri, 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada.




[1] Susanto, 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah h. 27-28
[2] Soekarno dan Supardi Ahmad, 2001. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa  h. 78-80
[3] Taqiyuddin, 2008. Sejarah Pendidikan. Bandung: Mulia Press h. 81-82
[4] Yatim Badri, 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grofindo Persada h. 44-45

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mohon ijin untik meng copy sebagai bahan belajar. Terimakasih

Anonim mengatakan...

mohon ijin copy untuk bahan belajar. Terimakasih