Senin, 09 Desember 2013

Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Daulah Bani Umayyah Di Andalusia



A.    PENDAHULUAN
Lukman ( 31: 13 )
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖإِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴿١٣﴾
Artinya :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Ayat diatas sangat erat hubungannya dengan pentingnya  pendidikan
islam, sebagaimana lukman memberi pelajaran kepada anaknya. Islam diturunkan sebagai rahmatan lil’alamin. Untuk mengenalkan islam ini diutus  Rasulullah SAW. Tujuan utamanya adalah memperbaiki manusia untuk kembali kepad Allah SWT. Oleh karena itu selama ± 23 tahun Rasulullah SAW membina dan memperbaiki manusia melalui suatu pendidikan. Pendidikan yang mengantarkan manusia kepada suatu derajat yang tinggi, yaitu adalah orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan ini yang mampu melanjutkan warisan yang sangat berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT. Pendidikan itu merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan suatu ilmu yang bermanfaat.
            Untuk mengetahui sejauh mana pendidikan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW,  dan para sahabatnya, maka perlu dibutuhkan sejarah pendidikan islam. Sejarah pendidikan isalam memiliki 2 kegunaan : yang bersifat umum yaitu faktor keteladanan dan bersifat akademis yaitu memberikan pembendaharaan perkembangan ilmu  pengetahuan. Oleh karena itu periodisasi sejarah pendidikan dapat dikatakan berada pada periode-periode sejarah islam itu sendiri. Yang dapat dibagi menjadi 3 periode. Tetapi pada makalah ini penulis hanya membahas sistem pendidikan islam pada masa daulah bani umayyah.
Pada tahun 25 H Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ke tiga  menggantikan khalifah Umar bin Khattab yang wafat. Dan pada tahun 35 H utsman bin affan meninggal karena dibunuh oleh Abdullah Bin Saba (seorang pendeta yahudi dari yaman yang masuk islam). Maka tahta pemerintahan khulafaurrasidin jatuh ketangan Ali bin Abhi Thalib sebagai khalifah yang ke empat(terakhir) dalam kekhalifahan khulafaurrasidin.
Pada masa pemerintahan khalifah Ali terjadi hal-hal yang tidak di inginkan oleh umat islam bukan sebab khalifah Ali melainkan situasi dan kehendak sejarah yang berjalan seperti itu. Ada empat golongan pada masa ini antara lain:
1.      Golongan Syi`ah yang menyokong penuh pengangkatan Ali bin Abhi thalib sebagai khalifah menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
2.      Golongan Mu`awiyah bin Abu Sofyan, wali (Gubernur) yang di angkat khalifah utsman di damaskus Syria, yang tidak megakui khalifah Ali dan menganggap Khalifah Ali bersalah dan ikut canpur dalam pembunuhan khalifah Utsman.
Golongan Mu`awiyah di Syria mengangkat Mu`awiyah menjadi khalifah pengganti khalifah Utsman bin Affan. Maka terjadilah dua orang khalifah yang satu di madinah (khalifah yang sah),dan tandingannya di Syria ialah Mu`awiyah bin Abu Sofyan.
3.      Golongan yang ketiga ialah Siti Aisyah Ummul Muminin (ibu seluruh orang muslim) dan diikuti oleh Thalhah bin Zubair. Golongan ini tidak mengakui pengangkatan khalifah Ali karena pengangkatan dengan paksaan tetapi tidak menyalahkan khalifah Ali dalam soal pembunuhan terhadap khalifah Utsman. Maka timbulah peperangan yang disebut Perang Jamal.
4.      Golongan keempat ialah Abdullah bin Umar anak Umar bin khattab,dan diikuti oleh sahabat yang lain yaitu Muhammad bin Salamah. Utsman bin Zaid,S`ad bin Abi Waqash, Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Salam. Golongan ini bersikaf Netral, mereka lebih menjauhkan diri dari dunia politik.
Yang akan kami bahas disini ialah perselisihan antara Khalifah Ali bin Abhi Thalib dengan Mu`awiyah bin Abu Sofyan yang akan menimbulkan sejarah yang penting bagi umat islam yaitu runtuhnya kekhalifahan khulafaurrasidin dan berdirinya daulah Bani Umayyah.
Pada tahun 37 H terjadilah suatu perang yang sangat terkenal dalam dunia islam yaitu “Perang Siffin” atau perang saudara, antara pasukan khalifah Ali melawan pasukan Mu`awiyah di suatu daerah di irak yang dinamakan “siffin’.
Peperangan ini sangat besar, dipihak khalifah Ali sebanyak 25.000 tentara gugur dan dari pihak Mu`awiyah sebanyak 45.000 orang wafat. Jalannya peperangan sangat menguntungkan pasukan Ali hampir seluruh pasukan Mu`awiyah  lari kucar-kacir. Akan tetapi mereka menjalankan siasat, yaitu menyerukan “cease fire” (penghentian tembak menembak).
Mereka mengikatkan beberapa kitab suci Al-Qur`an diujung tombak mereka dan mengacungkan sambil meneriakan penghentian tembak menembak dan berhukum kepada Al-Qur`an. Khalifah Ali pada mulanya tidak mau menerima ajakan ini karena beliau tahu bahwa hal ini merupakan siasat dari orang yang hampir kalah, minta menghentikan peperangan untuk sementara menyusun kekuatan kembali. Tetapi khalifah ali di desak oleh sebagian tentaranya sehingga khalifah ali menerima tawaran penghentian tembak menembak dan berhentilah peperangan.
Pasukan Ali pulang ke Baghdad dan pasukan Muawiyah ke Damaskus. Maka di susun delegasi kedua belah pihak untuk melanjutkan perundingan, pihak khalifah Ali di wakili oleh Abu Musa al-Asyari dan pihak Muawiyah di wakili oleh Amru bin Ash. Amru bin Ash adalah seorang ahli siasat yang ulung sekali sementara Abu Musa al-Asyari seorang sahabat nabi yang jujur dan sholeh, maka dari itu delegasi Muawiyah yang di wakili oleh Amru bin Ash menang dalam tahkim dan akhirnya khalifah Ali di berhentikan dari jabatannya sebagai khalifah. Maka dari itu runtuhlah kekhalifahan khulafaurrasidin dan berdirinya daulah Bani Umayyah


B.     PEMBAHASAN
1.      PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
                        Berkaitan dengan pendidikan umum dan pendidikan khusus, maka dapat di jelaskan bahwa pendidikan pada umumnya adalah para ulama. Pendidikan umum itu adalah pendidikan untuk masyarakat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan  yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi masih hodup, ia merupakan sasaran pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan agama. Dalam hal ini, ulama memikul tugas yang mengajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan kepada masyarakat. Ulama itu berkerja atas dasar kesadaran dan keinsyafan moral serta tanggung jawab agama, bukan atas dasar pengangkatan dan penunjukan pemerintah.
                        Di jaman Umayah terdapat pendidikan khusus yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukan bagi anaanak khalifah dan anak-anak pembesarnya. Gurunya itu disebut Muaddib. Para muadib ini  ditempatkan disekitar istana agar mereka senantiasa mendampingi dan mengawasi murid-muridnya.
                        Bila dibandingkan tentang tujuan dari kedua bentuk tersebut, maka akan diperoleh ilmu pengetahuan dan hakekat kebenaranyang di tunjang oleh keyakinan agama. Pendidikan secara umum bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan di tunjang oleh keyakinan agama. Sedangkan pendidikan khusus bertujuan untuk memperoleh kekuasaan dan kekuatan politik. Adanya perbedaan tujuan pendidikan ini menunjukan adanya perbedaan pandangan hidup.
                        Pendidikan umum menghasilkan pimpinan formal yang didukung oleh jabatan kenegaraan dengan wibawa kekuasaan, sedankgkan pendidikan khusus menghasilkan para ulama atau pimpinan nonformal sebagai pendamping para pimpinan formal.
                        Berkaitan dengan peserta didik, pada masa kedaulatan bani umayyah adalah  pada pendidikan umum  peserta didiknya yaitu masyarakat pada umumnya sedangkan pada pendidikan khusus, peserta didiknya adalah anak-anak khalifah dan anak-anak para pembesarnya.[1]

2.      KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM MASA DAULAH BANI UMAYAH
                        Secara esensial pendidikan pada masa bani umayah ini hampir sama dengan pendiddikan islam pada masa khulafa al-rasyidin.  Namun ada perbedaan dan perkembangannya sendiri, pemerintah di bidang pendidikan kurang maaksimal, sehingga pendidikan berjalan tanpa diatu pemerintah, tetapi  oleh para ulama yang memiliki pengetahuan  yang mendalam. Kebijaakan-kebijakan pendidikan  yang dikeluarkan pemerintah hamper tidak ditemukan. Jadi sustem pendidikan waktu itu berjalan secara alamiah. Ada dinamika yang menjadi karekteristik pendidikan islam ketika itu, yaitu dibukanya wacana kalam yang berkembang ditengah masyarakat. Perbincangan ini kemudian melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki pradigma berfikir sendiri.
                        Kondisi ketika itu  diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik, maka di dunia pendidikan, terutama dunia sastra, saqngat rentan identitasnya masing-masing.
                        Ilmu tafsir semakin  memiliki makna yang strategis dikarenakan semakin meluasnya kawasan islam ke beberapa daerah luar arab yang berakibat membawa lemahnya sastra seni arab,dan juga dikarenakan semakin banyak orang yang masuk islam. Pada masa ini juga mulai dikembangkan nahwu yang digunakan untuk memberi tanda baca dan pencatatan kaidah-kaidah bahasa. Disiplin ilmu ini menjadi cirri kemajuan tersendiri pada masa ini.
                        Menurut Hasan  Langgulung, diantar jasa bani umayah dalm bidang pendidikan, menjadikan masjid sebagai pusat perkembangan  ilmu. Dimasjid diajarkan beberapa macam ilmu. [2]

3.      METODE-METODE PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH
Pendidikan Islam di masa Dinasti Umayah tampaknya masih didominasi oleh metode bayani, terutama selama abad I H di mana pendidikan bertumpu dan bersumber pada nash-nash agama yang kala itu terdiri atas Alquran, sunnah, ijmak, dan fatwa sahabat. Metode bayani dalam pendidikan Islam kala itu lebih bersifat eksplanatif, yaitu sekedar menjelaskan ajaran-ajaran agama saja. Secara khusus, metode ceramah dan demonstrasilah yang banyak digunakan dalam institusi-institusi pendidikan yang ada di zaman itu Baru pada masa-masa akhir pemerintahan Umayah metode burhani mulai berkembang di dunia Islam, seiring dengan giatnya penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.

4.      LEMBAGA PENDIDIKAN PADA MASA BANI UMAYYAH
Pada umumnya lembaga pendidikan Islam dimasa ini diklasifikasikan atas dasar muatan kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Atas dasar ini, lembaga pendidikan Islam di masa klasik menurut Charles Michael Stanton digolongkan kedalam dua bentuk, yaitu lembaga pendidikan formal dan nonformal, di mana yang pertama mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan yang kedua mengajarkan pengetahuan umum, termasuk filsafat. Sementara George Makdisi dalam hal yang sama menyebutnya sebagai lembaga pendidikan ekslusif (tertutup) dan lembaga pendidikan inklusif (terbuka). Tertutup artinya hanya mengajarkan pengetahuan agama, dan terbuka artinya menawarkan pengetahuan umum.
Adapun lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasahpada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a.      SHUFFAH
Pada masa Rasulullah Saw, shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan tempat pemondokan bagi pendatang baru dan mereka tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam dibawah bimbingan langsung dari nabi. Pada masa ini setidaknya telah ada sembilan shuffah yang tersebar dikota Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.

b.      KUTTAB/MAKTAB
Kuttab/Maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kataba/maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis.[3] Kebanyakan para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa keduanya merpakan istilah yang sama dalam arti lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar. Namun Abdullah Fajar membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah istilah untuk zaman klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern.
Philip K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di kuttab ini berorientasi kepada Alquran sebagai suatu textbook. Hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah nabi hadist khususnya yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw.
Sejak abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum disamping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan warisan budaya helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam kurikulum pendidikan Islam. Bahkan dalam perkembangan berikutnya kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama (secular learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religious learning).
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Mengenai waktu belajar di kuttab, Mahmud Yunus menyebutkan dimulai hari Sabtu pagi hingga Kamis siang dengan waktu sebagai berikut:
Alquran                             : Pagi s.d. Dhuha
Menulis                             : Dhuha s.d. Dhuhur
Gramatikal Arab,              : Ba’da Dhuhur s.d. SiangMatematika, Sejarah.

c.       HALAQAH
Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Kegiatan halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh karena itu halaqah ini dikelompokan kedalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum. Dilihat dari segi ini, halaqah dikatagorikan kedalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan setingkat dengan college.

d.      MAJLIS
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktivitas pembelajaran, sebagai contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis Al-Syafi’I artinya majlis yang mengajarkan fiqih imam Syafi’i.
Seiring denagan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai berikut:
Majlis al-Hadits, majlis ini diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam bidang hadits. Ulama tersebut membentuk majlis untuk mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya. Majlis ini berlangsung antara 20-30 tahun. Dan jumlah peserta yang ikut majlis ini mencapai ratusan ribu orang, seperti majlis yang disampaikan oleh Ashim ibn Ali di Masjid al-Rusafa diikuti oleh 100.000 sampai 120.000 orang.
1)      Majlis al-Tadris, majlis ini biasanya menunjuk majlis selain daripada hadist, seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam.
2)      Majlis al-Munazharah, majlis ini dipergunakan untuk sarana perdebatan mengenai suatu masalah oleh para ulama. Menurut Syalabi, khalifah Muawiyah sering mengundang para ulama untuk berdiskusi di istananya, demikian juga khalifah Al-Ma’mun pada dinasti Abbasiyah. Diluar istana majlis ini ada yang dilaksanakan secara kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang berupa kontes terbuka dikalangan ulama, untuk model ini biasanya hanya dipakai untuk mencari popularitas ulama saja.
3)      Majlis al-Muzakarah, majlis ini merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar hadist. Majlis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan saling mengingat serta mengulang pelajaran yang sudah diberikan sambil menunggu kehadiran guru. Pada perkembangan berikutnya, majlis al-Muzakarah ini dibedakan berdasarkan materi yang didiskusikan, yaitu meliputi: sanad hadits, materi hadits, perawi hadits, hadits-hadist dho’if korelasi hadits dengan bidang ilmu tertentu dan kitab-kitab musnad.
4)      Majlis al-Syu’ara, majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair, dan sering dipakai untuk kontes para ahli syair.
5)      Majlis al-Adab, majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal.
6)      Majlis al-Fatwa dan al-Nazar, majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah dibidang hokum kemudian difatwakan. Disebut juga majlis al-Nazar karena karakteristik majlis ini adalah perdebatan antara ulama fiqih atau hukum Islam.

e.       MASJID
Semenjak berdirinya pada masa Nabi Muhammad Saw, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam.
Perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Terlebih lagi pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan, urgensi masyarakat kepada mesjid menjadi sangat kompleks. Hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk, yaitu masjid tempat shalat Jum’at atau jami’ dan masjid biasa.[4] Jumlah jami lebih sedikit dibanding dengan jumlah masjid. Di Baghdad hanya ada 6 jami, sedangkan masjid jumlahnya mencapai ratusan, demikian juga di Damaskus, sedikit sekali jumlah jami dari pada masjid. Namun di Cairo jumlah jami cukup banyak. Jami maupun masjid keduanya digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun jami memiliki halaqah-halaqah, majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah (menurut Abdul Fajar, zawiyah sama dengan kuttab dalam hal pendidikan dasar, namun muatan kurikulum lebih tinggi karena memasukan pendidikan moral dan spiritual atau tasawuf).
Ada perbedaan penting antara jami dengan masjid. Jami dikelola dibawah otoritas penguasa atau khalifah memiliki otoritas yang kuat dalam hal pengelolaan seluruh aktivitas jami, seperti kurikulum tenaga pengajar, pembiayaan dan lain-lain. Sementara masjid tidak berhubungan dengan kekuasaan. Namun demikian, baik jami maupun masjid termasuk lembaga pendidikan setingkat college.
Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti qadhi, khotib, dan imam masjid. Melihat kaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masjid merupakan lembaga pendidikan formal.

f.       KHAN
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang banyak memiliki toko, seperti khan al-Narsi yang berlokasi di alun-alun Karkh di Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam pada suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn Di’lij di Suwaiqat Ghalib dekat makam Suraij. Disamping fungsi itu, khan juga digunakan sebagai sarana untuk belajar privat.

g.      RIBATH
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh seorang syaikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.

h.      RUMAH-RUMAH ULAMA
Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar. Namun para ulama dizaman klasik (bani Umayyah dan bani Abbasiyah) banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Hal ini umumnya disebabkan karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pelajaran di masjid, sedangkan para pelajar banyak yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya.



i.        TOKO-TOKO BUKU DAN PERPUSTAKAAN
Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam. Pada awalnya memang hanya menjual buku-buku, tapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dilaksanakan disitu. Disamping toko buku, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan islam.

j.        RUMAH SAKIT
Rumah sakit pada masa bani Umayyah bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik  tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan juga dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan berkembang cukup pesat.

k.      BADIAH (PADANG PASIR, DUSUN TEMPAT TINGGAL BADAWI)
Semenjak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab banyak digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa diluar Arab yang beragama Islam. Namun, bahasa Arab disitu cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka kurang fasih melafazkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadhi bahasa pasaran. Namun tidak demikian halnya dibadiah-badiah, mereka tetep mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Dengan demikian badiah-badiah ini merupakan sumber bahasa Arab yang asli dan murni.
Oleh karena itu, badiah-badiah menjadi pusat untuk sumber belajar pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni, sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa kesusastraan Arab. Dengan begitu, badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.











C.    PENUTUP/KESIMPULAN
Dari pemeparan diatas dapat kami simpulkan bahwa pendidikan pada umumnya adalah para ulama. Pendidikan umum itu adalah pendidikan untuk masyarakat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan  yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi masih hodup, ia merupakan sasaran pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan agama. Dalam hal ini, ulama memikul tugas yang mengajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan kepada masyarakat.
Pemerintah di bidang pendidikan kurang maaksimal, sehingga pendidikan berjalan tanpa diatur pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan  yang mendalam.










D.    DAFTAR BACAAN
Arief, Armai. 2004. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung : Angkasa
Asrobah, Harun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Logos
M, Taqyudin. 2008. Sejarah Pendidikan. Bandung : Mulia Press
Zuhairini. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara



[1]Taqiyudin, Sejarah Pendidikan, Bandung: Mulia Press, h. 78
[2] Armai Arief, Sejarah Pertumbvuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, Bandung: Angkasa, 2004, hh 138-139
[3] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, h. 89.

[4] Hanun Asrohah,  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, h. 57.

Tidak ada komentar: