Senin, 09 Desember 2013

Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyyah II




A.    PENDAHULUAN
Berkembangnya pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses pendidikan Islam telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya umat Islam. Melalui sejarah Islam pula, umat Islam bisa meniru pola pendidikan Islam pada masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ulama’ setelahnya. Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah masjid.
Sejarah pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses pendidikan Islam sejatinya telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya umat Islam itu sendiri. Melalui sejarah Islam pula, umat Islam bisa meneladani model-model pendidikan Islam di masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ulama-ulama sesudahnya. Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah masjid.
Pada masa Nabi, masjid bukan hanya sebagai sarana ibadah, tapi juga sebagai tempat menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa, disamping sebagai tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat menerima duta-duta asing. Bahkan di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu. Sebelum al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang dipakai sebagai tempat belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu.
Islam mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan menulis dan dapat memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa ini murid-murid di tingkat dasar mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas, jelas dan mudah dipahami tentang beberapa masalah.Pendidikan di tingkat dasar ini diselenggarakan di masjid, dimana al-Quran merupakan buku teks wajib. Pada tingkat pendidikan menengah diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam dan rinci terhadap materi yang sudah diajarkan pada tingkat pendidikan dasar.Selanjutnya pada tingkat universitas sudah diberikan spesialisasi, pendalaman dan analisa.










B.     PEMBAHASAN
1.      SEJARAH BERDIRINYA DAULAH ABBASIYAH
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah, dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah Ibn Al-Abbas.Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H ( 750 M)  s.d 656 H (1258 M).[1] Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pamerintahan dan politik itu, parasejarawan membagi masa  kekuasaan Daulah Abbasiyah dalam lima periode,[2] yaitu :
a.       Periode I (132 H/750 M – 232 H/ 847 M) masa pengaruh Persia Pertama
b.      Periode II (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M) Masa pengaruh Turki Pertama
c.       Periode III (334 H/945 M – 447 H/ 1055 M) masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh persi kedua.
d.       Periode IV (447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M) masa bani saljuk, pengaruh Turki kedua.
e.       Periode V (590 H/1104 M – 656 M/ 1250 M) masa kebebasan dari pengaruh dinasti lain.
Daulah Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya pada periode I, para kholifah pada masa periode I dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.Kemakmuran masyarakat pada saat ini mencapai tingkat yang tinggi.Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid (786 M-809 M) dan putranya Al-Makmun (813 M-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah Harun Al-Rasyid dan putranya Al-Makmun digunakan untuk kepentingan social seperti: lembaga pendidikan, kesehatan, rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasan. Al-makmun khalifah yang cinta kepada ilmu dan banyak mendirikan sekolah.[3]
Menurut Ahmad Syam, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nizar dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Pendidikan Islam”  bahwa faktor-faktor  pendorong berdirinya Daulah Abbasiyah dan penyebab suksesnya, adalah sebagai berikut: [4]
1)      Banyak terjadi perselisihan antara bani Umayyah pada decade terakhir pemerintahannya, di antara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kekahalifahan dan harta.
2)      Pendeknya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan bani Umawiyah, seperti khalifah Yazid bin Al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.
3)      Putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang dikerjakan oleh Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya Abdullah dan Ubaidillah sebagai putra mahkota.
4)      Bergabungnya sebagian afrad keluarga Umawi kepada madzhab-madzhab agama yang tidak benar menurut syari’ah, seperti Al-Qadariyah.
5)      Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan bani Umawiyah.
6)      Kesombongan pembesar-pembesar  bani Umawiyah pada akhir pemerintahannya.

7)      Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non-Arab)
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya. Pada periode ini, segala potensi yang terkandung dalam kebudayaan yang didasari nilai-nilai Islam mulai bergerak secara perlahan namun strategis. Selain terjadi kemajuan pada bidang sosio-ekonomik, terjadi pada kemajuan pada bidang intelektual. Kemajuan intelektual tersebut ditunjang oleh kemajuan pendidikan baik institusi, insfrastruktur maupun kemajuan sains dan obyek-obyek studinya.[5]
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan-gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan konflik antarbangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.

2.      LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN PADA MASA DAULAH ABBASIYAH
Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non fomal.Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang becorak non formal tersebut adalah :[6]


a.      KUTTAB SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN DASAR
Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi kataba adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam Kuttab telah ada di negeri arab, walaupun belum banyak dikenal. Diantara penduduk makkah yang mula-mula belajar menulis huruf arab di kuttab ialah Sufyan ibnu Umayyah ibnu Abdu  Syams dan  Abu Qais Ibnu Abdi manaf ibnu Zuhroh ibnu Kilab.[7]

b.      PENDIDIKAN RENDAH  DI ISTANA
Corak pendidikan anak-anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab-kuttab, pada umumnya di istana para orang tua siswa (para pembesar istana) yang membuat rencana pembelajaran selaras dengan anaknya dan tujuan yang ingin dicapai orang tuanya. Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama dengan pelajaran pada kuttab-kuttab hanya sedikit ditambah dan dikurangi sesuai dengan kehendak orang tua mereka.
Guru yang mengajar di Istana disebut Muaddib.Kata muaddib berasal dari kata adab yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan.guru pendidikan di istana disebut muaddib karena berfungsi mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan-pengetahuan orang-orang terdahulu kepada anak-anak pejabat.[8]

c.       RUMAH-RUMAH PARA ULAMA’ (AHLI ILMU PENGETAHUAN)
Walaupun sebenarnya, rumah bukanlah merupakan tempat yang baik untuk tempat memberikan pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, banyak juga  rumah-rumah para ulama’ dan ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena ulama’ dan ahli yang bersangkutan yang tidak mungkin memberikan pelajaran di masjid, sedangkan pelajar banyak yang berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan daripadanya.
Diantara rumah ulama’ terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Gazali, Ali ibnu Muhammad Al-Fasihi, Ya’kub Ibni Killis, Wazir khalifah Al-Aziz billah Al-fatimy, dan lain-lainnya.

d.      RUMAH SAKIT
Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan kesejahteraan dikalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah sakit oleh kholifah dan pembesar-pembesar Negara.Rumah-rumah sakit tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan.

e.       PERPUSTAKAAN 
Para ulama’  dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para penuntut ilmu. Bahkan para ulama’  dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar diperpustakaan pribadi mereka.
Baitul hikmah di Baghdad yang didirikan khalifah Al-Rasyid adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu.[9]
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas karena disamping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.[10]

f.       MASJID
Semenjak berdirinya dizaman nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin.Ia, menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi lainnya dan tempat menyelenggarakan pendidikan.
Pada masa Bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh para pengusaha pada umumnya di perlengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan.[11]

3.      KEMAJUAN PENDIDIKAN ISLAMPADA MASA DAULAH ABBASIYAH
Pada masa dinasti Abbasiyah banyak kemajuan- kemajuan dalam bidang pendidikan diantaranya yaitu:
a.      KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA DAULAH ABBASIYAH
Di bidang ilmu pengetahuan, pada masa daulah Abbasiyah mulai melahirkan beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits, dan Fiqh, yang dimulai sejak tahun 143 H. Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah Ibnu Juraij (w.150 H) yang menulis kumpulan hadisnya dimekah, Malik Ibn Anas (w.171 H) dengan karyanya al muwatta` di madinah, Al Awza`I di wirlayah syam, Ibn Abi Urubah dan Hammad Ibn salamah di Basrah, Ma`mar di Yaman, Sufyan Al Tsauri di kufah, Muhamad Ibn Ishaq (w.175 H) yang menulis buku sejarah (Al Maghazi) Al Layts Ibn Sa`ad (w.175 H) serta Abu Hanifah.
Ada juga ilmu yang berhubungan dengan ilmu naqli, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Qur'n dan Hadits, diantaranya:
1)      ILMU TAFSIR
            Dalam ilmu tafsir itu terbagi menjadi dua, yang pertama, tafsir bi al ma`tsur, yaitu penafsiran Al Quran berdasarkan sanad meliputi al Qur’an dengan al Qur’an, al Qur’an dengan aL Hadits. Yang kedua, tafsir bi ar ra`yi, yaitu penafsiran Al Qur’an dengan mempergunakan akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung didalamnya.
            Salah tokoh ilmu tafsir bi al ma`tsur dipelopori oleh As Subdi (w.127 H), Muqatil bin Sulaiman (w.150 H), dan Muhamad Ishaq. Sedangkan tafsir bi ar ra`yi banyak dipelopori oleh golongan Mu`tazilah.Mereka yang terkenal antara lain Abu Bakar al Asham (w.240 H), Abu Muslim al Asfahani (w.522 H) dan Ibnu Jarwi al Asadi (w.387 H).

2)      ILMU HADITS
            Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Karena kedudukannya itu, maka setiap muslim harus selalu berusaha untuk menjaga dan melestarikannya. Pada masa Abbasiyah, kegiatan pengkodifikasian/ pembukuan Hadits dilakukan dengan giat sebagai kelanjutan dari usaha para ulama sebelumnya.Sejarah penulisan hadis-hadis Nabi mencetak tokoh-tokoh ilmu hadits seperti Ibn Juraij, Malik ibn Anas, juga Rabi` ibn Sabib (w.160 H) dan ibn Al Mubarak (w.181 H).
            Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadits Nabi dalam bentuk musnad. Di antara tokoh yang menulis musnad, antara lain Ahmad ibn Hanbal, Ubaydullah ibn Musa al `Absy al Kufi, Musaddad ibn Musarhad al Basri, Asad ibn Musa al Amawi dan Nu’aim ibn Hammad al Khuza’I, perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu mulai pada pertengahan abad ketiga, muncul tren baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan Hadits, yaitu munculnya kecenderungan penulisan Hadits yang di dahului oleh tahapan penelitian dan pemisahan hadits-hadits sahih dari yang dha’if sebagaimana dilakukan oleh al Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275 H), Al Tirmidzi (w.279 H), serta Al Nasa’I (w.303 H), yang karya-karya haditsnya dikenal dengan sebutan Kutubu Al- Sittah.

3)      ILMU FIQH
Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut sebagai empat imam mazhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanifah (w.150 H), Malik ibn Anas (w.179 H), Al Shafi’I (w.204 H), dan Ahmad ibn Hanbal (w.241 H).dari sini memunculkan dua aliran yang berbeda dalam metode pengambilan hukum, yaitu ahli Hadits dan ahli ra`yi. Ahli hadits dalam pengambilan hukum, metode yang dipakai adalah mengutamakan hadits-hadits nabi sebagai rujukan dalam istinbat al ahkam.Pemuka aliran ini adalah Imam Malik dengan pengikutnya, pengikut imam Syafi’I, pengikut Sufyan, dan pengikut Imam Hanbali.Sedangkan ahli ra’yi adalah aliran yang memepergunakan akal dan fikiran dalam menggali hukum.Pemuka aliran ini adalah Abu Hanifah dan teman-temannya fuqaha dari Iraq.

4)      ILMU TASAWUF
Ilmu tasawuf yaitu ilmu syariat. Inti ajarannya ialah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan atau menjauhkan diri dari kesenangan dan perhiasan dunia. Dalam sejarahnya sebelum muncul aliran Tasawuf, terlebih dulu muncul aliran Zuhud. Aliran ini muncul pada akhir abad I dan permulaan abad II H, sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar Negara sebagai akibat kejayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, mesir, Mesopotamia, dan Persia. Aliran zuhud mulai nyata kelihatan di kufah. Sedangkan dibasrah sebagai kota yang tenggelam atas kemewahan, aliran zuhud mengambil corak yang lebih ekstrim. Zahid yang terkenal disini adalah Hasan al Bisri dan Rabi’ah al Adawiyah.
Bersamaan dengan lahirnya ilmu tasawuf muncul pula ahli-ahli dan ulama-ulamanya, antara lain adalah al Qusyairy (w.465 H), kitab beliau yang terkenal adalah ar risalatul Qusy Airiyah; Syahabuddari, yaitu abu Hafas Umar ibn Muhammad Syahabuddari Sahrowardy (w.632 H), kitab karangannya adalah Awwariffu Ma’arif; Imam Ghazali (w.502 H), kitab karangannya antara lain : al Basith, Maqasidul, Falsafah, al Manqizu Minad Dhalal, Ihya Ulumuddin, Bidayatul Hidayah, Jawahirul Qur’an, dan lain sebagainya.
5)      ILMU BAHASA
Pada masa bani Abbasiyah, ilmu bahasa tumbuh dan berkembang dengan suburnya, karena bahasa Arab semakin dewasa dan menjadi bahasa internasional. Ilmu bahasa memerlukan suatu ilmu yang menyeluruh, yang mencakup ilmu nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, bad’arudh, qamus, dan insya’. Di antara ulama yang termasyhur adalah : 1) Sibawaih (w.153 H), 2) Muaz al Harro (w.187 H), mula-mula membuat tashrif, 3) Al Kasai (w.190 H), pengarang kitab tata bahasa, 4) Abu Usman al Maziny (w.249 H), karangannya banyak tentang nahwu.

4.      METODE PENDIDIKAN PADA MASA DAULAH ABBASIYAH
Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para muridnya. Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh murid hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah disampaikan gurunya.
Pada masa Dinasti abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan.
a.    Metode Lisan
b.    Metode Menghafal
c.    Metode Tulisan



5.      MATERI PENDIDIKAN PADA MASA DAULAH ABBASIYAH
Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pillihan (ikhtiari).Hal ini tampaknya sangat berbeda dengan materi pendidikan dasar pada masa sekarang.Di saat sekarang ini materi pendidikan tingkat dasar dan menengah semuanya adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan. Materi pilihan baru ada pada tingkat perguruan tinggi.
Menurut Mahmud  Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam”, yang dikutip oleh Suwito menjelaskan tentang materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) sebagai berikut :
a.       Al-Qur’an
b.      Shalat
c.       Do’a
d.      Sedikit ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya yang dipelajari baru pokok-pokok dari ilmu nahwu dan bahasa arab belum secara tuntas dan detail).
e.       Membaca dan menulis
Sedangkan materi pelajaran ikhtiari (pilihan) ialah ;
1)      Berhitung
2)      Semua ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya nahwu yang   berhubungan dengan ilmu   nahwu dipelajari secara tuntans dan detail);
3)      Syair-syair
4)      Riwayat/ Tarikh Arab.[12]


C.    PENUTUP/KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tentang “Pendidikan Islam Masa Daulah Abbasiyah , maka dapat disimpulkan:
a.       Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.Puncak keemasan  dan kejayaannya terjadi pada periode I terutama pada masa Khalifah Harun al Rasyid(786M-809M) dan putranya al-Makmum (813M-833M) yang sangat fokus pada perkembangan ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan.

b.      Lembaga-lembaga pendidikan baik yang sudah ada sebelumnya kemudian dilanjutkan pada masa Abbasiyah diantaranya : a). Kuttab b). pendidikan rendah istana c). Rumah-rumah para ulama’ d). rumah sakit  e).  perpustakaan dan f). masjid.

c.       Kemajuan pendidikan Islam dapat dilihat dari metode-metode dan materi yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Metode pendidikan yang digunakan ada tiga macam : 1) metode lisan, dengan system imla, ceramah, qira’ah dan diskusi. 2). Metode menghafal, dimana murid-murid diharuskan membaca berulang-ulang pelajarannya sampai melekat dibenak mereka. 3). Metode tulisan, yaitu pengkopian karya-karya ulama.  Materi pelajaran yang digunakan ada yang bersifat wajib (ijbari) dan bersifat pilihan (ikhtiari). Materi yang bersifat wajib ialah  : Al-Qur’an, shalat, do’a, sedikit ilmu nahwu dan bahasa arab dan membaca dan menulis. Sedangkat materi yang bersifat pilihan ialah : berhitung, semua ilmu nahwu dan bahasa arab secara keseluruhan, sya’ir-sya’ir dan riwayat/ tarikh Arab.

d.      Pada masa Abbasiyah muncul ilmuwan-ilmuwan muslim yang turut memperluas dan mengembangkan metodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Sehingga tumbuhlah sarjana-sarjana yang ahli sesuai bidang keilmuan yang dimiliki, diantaranya : Alfarabi, Ibnu Sina, Al-farghani, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’ie Bukhari dan Muslim, Rabi’ah Al- Adawiyah dan Ahmad bin Hambal, dan banyak lagi yang lainnya.



















D.    DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri.  2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers
Suwito,  2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam.  Jakarta: Prenada Media
Muchtarom, Zuhairi. 1995. Sejarah pendidikan Islam.  Jakarta: Bumi Aksara.
Halim, Abdul Soebahar. 2002. Wawasan Baru Pendidikan Islam.  Jakarta: Kalam Mulia
Syam, Ahmad. 1986. Daulah Al-Islamiyah fi Al-‘Asry Al-Aabasy Al-Awal, (Maktabah Al Jalu Al Misriyah). Jakarta: Bulan Bintang




[1] Badri Yatim. 2010. “Sejarah Peradaban Islam”. Jakarta:Rajawali Press. Hlm. 49
[2] Bojeno Gajane Stryzesweska. 2009. “Tarikh Al Daulat al Islamiyah”. Jakarta: Beirut al maktub al tijari. Hlm. 360
[3] Suwito. 2008. “Sejarah Sosial Pendidikan Islam”.jakarta: Kencana. Hlm. 11
[4] Ahmad Syam, 1986. Daulah Al-Islamiyah fi Al-‘Asry Al-Aabasy Al-Awal,( Maktabah Al Jalu Al Misriyah). Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 206
[5] Abd. Halim Soebahar, 2002. “Wawasan Baru Pendidikan Islam”. Jakarta:Kalam Mulia,  hlm.  95
[6] Zuhairi Muchtarom. 1995. Sejarah Pendidikan Islam”. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 89
[7] Op. Cit. Suwito. Hlm. 12-13
[8] Op. Cit. Zuhairi Muchtarom. Hlm. 92
[9] Op.Cit. Zuhaiti Muchtarom. Hlm. 98
[10] Op.Cit. Badri Yatim. Hlm.55
[11] Op.Cit. Zuhairi Muchtarom. Hlm. 98
[12] Suwito. 2005. “Sejarah Sosial Pendidikam Islam”. Jakarta: Prenada Media. Hlm. 12

Tidak ada komentar: