Senin, 09 Desember 2013

Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyyah I




A.    PENDAHULUAN
Al-Hasr : 18
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Seperti yang dikatakan Ir. Soekarno bahwa “jangan lupakan sejarah”. Kita pun harus terus mengingat sejarah karena adanya sejarah dapat memberikan pelajaran bagi kita di masa sekarang dan akan datang. Seperti yang kita tahu dunia pendidikan sangat berperan penting bagi kehidupan manusia, terutama pendidikan Islam, karena banyak memberikan pengaruh pada masa sekarang. Seperti halnya dalam dunia pendidikan pada masa Daulah Abbasiyah dan di masa kejayaannya, dunia pendidikan cukup pesat.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau Khalifah Abbasiyah ialah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada Al-Abbas, paman Rasulullah SAW, sementara Khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah Ash-Shafah bin Muhammad Bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Dinasti Abbassiyyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750-1258 M).
Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang dapat dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.













B.     PEMBAHASAN
1.      PENDIDIK
Pendidik yang pertama yaitu Abdullah Ash-Shafah bin Muhammad Bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib kemudian Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M). pada masanya hidup pula para filsuf, pujangga, ahli baca Al-Quran dan para ulama di bidang agama. Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai orang yang taat beragama, menunaikan ibadah haji.

2.      PESERTA DIDIK
Keluarga dan pejabat-pejabatnya serta para ulama, para wanita, maupun laki-laki.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa menuntut ilmu adalah suatu kewajiban atas tiap-tiap anak-anak putra-putri. Karena pada masa Nabi Saw. Pun kaum perempuan tidak ketinggalan dari laki-laki sehingga mereka meminta kepada Nabi Saw. Pada masa Abbasiyah anak-anak putri hanya belajar di rumah saja, karena tidak diizinkan pergi ke kutab atau ke masjid untuk belajar ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, bagi anak-anak putri hanya ada satu kesempatan saja, yaitu belajar di rumahnya sendiri. Itupun yang mampu memanggil guru ke rumahnya dan bagi yang tidak mampu maka tidak ada kesempatan untuk belajar.
Tujuan pendidikan wanita adalah pada masa Nabi Saw. Masa Khulafa al-rasyidin dan Umayyah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya lain tidak.
Pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan telah mengalami berbagai penambahan, karena pengaruh masyarakat pada masa itu yaitu:
a.       Tujuan keagamaan dan akhlak, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak dididik dan diajar membaca/menghafal al-Qur’an, ialah karena hal itu suatu kewajiban dalam agama dan berakhlak menurut agama dan mereka juga diajar ilmu tafsir, hadist dan sebagainya adalah tuntutan agama.
b.      Tujuan kemasyarakatan. Selaimn tujuan keagamaan dan akhlak ada pula tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar menuntut ilmu, supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan makmur.
c.       Cinta akan ilmu pengetahuan serta senang dan lezat mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada berdalam-dalam dalam ilmu pengetahuan.
d.      Tujuan kebendaan. mereka menuntut ilmu, supaya mendapat penghidupan yang layak, dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, seperti tujuan setengah orang pada masa kita kini.[1]

3.      MATERI PENDIDIKAN
Pendidikan pada periode ini yaitu dengan menempatkan Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan. Para siswa (laki-laki) belajar membaca, menulis tata bahasa (grammar), philology, moral dan praktek ibadah (shalat) pelajaran membaca Al-Qur’an dan praktek ritual di wajibkan, sementara istirahat juga dilakukan dengan cara sukarela atau sekehendak siswa. Dalam hal ini menarik sekali untuk pengarahan Harun Al-Rasyid kepada guru Al-Ma’mun: “Ajarkanlah Al-Qur,an, sejarah, membaca sya’ir, dan Al-Sunnah, serta berikanlah ketrampilan bercakap-cakap kepadanya. Janganlah membuat ia tidak bahagia, karena yang demikian itu dapat membunuh kecerdasan dan potensi yang dimilikinya, tetapi juga jangan terlalu lemah mengahadapi mereka.’ Catatan ini memperlihatkan bahwa pendidikan yang diberikan kepada para putera mahkota keadaannya berbeda dengan pendidikan yang umumnya diberikan kepada masyarakat. Pendidikan dasar ini di ikuti dengan pendidikan tingkat lanjutan, yaitu disamping pelajaran Al-Qur’an dan hadits, juga pelajaran bhasa Arab, literatur, filsafat dan lain-lain. Pengajaran tersebut dilakukan oleh para sarjana pendidikan di masjid-masjid. Imam Syafi’i bertugas mengajar tafsir Al-Qur’an, hadits, fisafat, retorika, grammar dan syair. Sementara Al-Tabary mengajar syair di masjid amar. Sementara Al-Jubai yang dikenal sebgai Mu’tazili ( abad kesembilan ) bertugas sebagai dosen filsafat di masjid Bashra. Sebagai tambahan perlu dikemukakan bahwa di samping masjid terdapat pula tempat-tempat lainya kegiatan pengajaran dan penelitian saperti Bait Al-Hikmah, Dar Al-Ilm dan perpustakaan. Bait Al-Hikmah di bangun oleh Al-Ma’mun (833 A.D). yang dilengkapi dengan perpustakaan, pusat kegiatan penerjemah, ruang penelitian dan asrama bagi para pelajar. Sementara itu Khizanat Al-Hima telah pula didirikan oleh Yahya dan Dar Al-Ilm oleh Ja’far Bin Muhammad di Musail. Pada periode ini juga madrasah-madrasah sudah dapat dijumpai tempat belajar yang meliputi agama dan filsafat sebagaimana Madrasah yang dibangun oleh Al-Baihaqi di Nisyafur.[2]
Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu Alquran, qira’at, hadis, fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Imam Abu Hanifah (meninggal di Baghdad tahun 150 H/677 M) adalah pendiri mazhab Hanafi. Imam Malik bin Anas banyak menulis hadis dan pendiri Mazhab Maliki (wafat di Madinah tahun 179 H/795 M). Muhammad bin Idris Ash-Syafi’i (wafat di Mesir tahun 204 H/819 M) adalah pendiri mazhab Syafi’i. Ahmad bin Hanbal pendiri mazhab Hanbali (w. tahun 241 H/855 M). Di samping itu, berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, music, kedokteran, dan kimia.
Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, di samping bahasa India. Pada masa pemerintahan Al-Makmum, pengaruh Yunani sangat kuat..Di antara para penerjemah yang masyhur saat itu adalah Hunain bin Ishak. [3]
Pokok-pokok agama Isalam seperti: Wudlu, shalat, dan shaum, Dasar-dasar Nahwu dan Shorof, mantiq, falaq, dan Balaghah.[4]
a.       Bidang Agama
Kemajuan di bidang agama antara lain dalam beberapa bidang ilmu, yaitu ulumul qur’an, ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, bahasa, dan fiqh.
1)      Fiqh:
Pada masa dinasti Abbasiyah lahir para tokoh bidang fiqh dan pendiri mazhab antara lain sebagai berikut.
a)      Imam Abu Hanifah (700-767 M)
b)      Imam Malik (713-795 M)
c)      Imam Syafi’i (767-820 M)
d)     Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
2)      Ilmu Tafsir
3)      Ilmu Hadis
4)      Ilmu Kalam
Kajian para ahli kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surge neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau teologi.
5)      Ilmu Bahasa
Di antara ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu bad’i, dan arudh. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antarbangsa.
b.      Bidang Umum
Dalam bidang umum berkembang berbagai kajian dalam bidang filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika, mekania, astronomi, musik, kedokteran, kimia, sejarah, dan sastra.
1)      Filsafat
2)      Ilmu Kedokteran
3)      Matematika
Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa arab, menghasilkan karya dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi. Al-khawarizmi adalah pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol. Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka arab karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal dengan angka Romawi I, II, III. IV, V dan seterusnya. Tokoh lain adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Abbas (940-998) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
4)      Farmasi
5)      Ilmu Astronomi
6)      Geografi
7)      Sejarah
8)      Sastra
Dalam bidang sastra, Baghdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan. Para tokoh sastra antara lain:

a)      Abu Nuwas, salah satu seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.
b)      An-Nasyasi, penulis buku Seribu Satu Malam.[5]

4.      METODE PEMBELAJARAN
Membaca, menulis, menghitung, menghafal, Takhrij Hadis dan berdiskusi.

5.      LEMBAGA PENDIDIKAN
Lembaga pendidikan pada masa Abasiyyah terdiri dari dua tingkatan:
a.       Maktab atau Kutab atau mesjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan dan tulisan serta tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Tafsir, Hadits, fiqih dan bahasa.
b.      Tingkat pendalaman para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing.[6]
Seluruh lembaga pendidikan Islam pada masa Abbasiyah dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, pendidikan dasar (rendah) yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, pasar, dan istana. Kedua, pendidikan menengah yang mencangkup masjid dan sanggar seni dan ilmu pengetahuan. Ketiga, pendidikan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan seperti bait al-Hikmah di Bagdad dan Dar al-Ulum di kairo. Pembagian tingkatan pendidikan di atas masih dibuka untuk diperdebatkan, hal ini terlihat dalam fungsi lembaga masjid yang kadang-kadang dianggap lembaga pendidikan yang memberikan materi pelajaran tingkat menengah dan kadang-kadang dianggap lembaga pendidikan yang memberikan materi pelajaran tingkat tinggi.[7]
Lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyyah mengalami perkembangan dan kemajuan sangat pesat. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah, maupun bahasa ilmu pengetahuan.[8]
Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1)      Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa yang lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalm bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
2)      Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Manshur hingga Harun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak di terjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua mulai khalifah Al-Ma’mum hingga tahun 300 H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam hal bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H terutama setelah pembuatan kertas.[9]







C.    PENUTUP/KESIMPULAN
Pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah cukup pesat, Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu Alquran, qira’at, hadis, fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Imam Abu Hanifah adalah pendiri mazhab Hanafi. Imam Malik bin Anas pendiri Mazhab Maliki. Muhammad bin Idris Ash-Syafi’i adalah pendiri mazhab Syafi’i. Ahmad bin Hanbal pendiri mazhab Hanbali. Di samping itu, berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran, dan kimia. Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab.
Pendidikan pada periode ini yaitu dengan menempatkan Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan. Para siswa (laki-laki) belajar membaca, menulis tata bahasa (grammar), philology, moral dan praktek ibadah (shalat) pelajaran membaca Al-Qur’an dan praktek ritual.
Lembaga pendidikan pada masa Abasiyyah terdiri dari dua tingkatan:
a.       Maktab atau Kutab atau mesjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan dan tulisan serta tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Tafsir, Hadits, fiqih dan bahasa.
b.      Tingkat pendalaman para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing.
D.    DAFTAR BACAAN
Alavi, Zianuddin “Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan”, 2003. Bandung: Percetakan Angkasa
Arief, Armai ”Sejarah dan Pertumbuhan Lembaga Pendidikan Islam Klasik”, 2004. Bandung: Angkasa Bandung
Munir Amin, Samsul Sejarah Peradaban Islam. 2010. Jakarta: Amzah.
Taqiyuddin. Sejarah Pendidikan Islam. 2008. Bandung: Mulia Press.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. 2011. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.








[1] Taqiyuddin. Sejarah Pendidikan Islam. 2008. Bandung: Mulia Press. Hh 88-89
[2] Zianuddin Alavi,  Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan”, 2003. Bandung: Percetakan Angkasa Hh 4-5
[3] Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam. 2010. Amzah: Jakarta. Hh 144-145
[4] Armai Arief, ”Sejarah dan Pertumbuhan Lembaga Pendidikan Islam Klasik”, 2004. Bandung: Angkasa Bandung Hh. 139-140
[5] Samsul Munir. Op. Cit., hh 148-152
[6] Taqiyuddin. Op. Cit.,  H 83
[7] Armai Arief, Op. Cit., h 139
[8] Samsul Munir Amin. Op. Cit.,  h 145
[9] Badri yatim. Sejarah Peradaban Islam. 2011. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hh 55-56

1 komentar:

edrajabour mengatakan...

Citizen's Promaster Titanium - The Art of Iron - TI-202026
The titanium headers Protobet titanium core allows you to create a durable lightweight base and then build new titanium trim hair cutter reviews ones. urban titanium metallic The Titanium burnt titanium core has an "iron" stainless plate to titanium dental implants and periodontics